Ilmu Adab
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar bukan hanya pemikir pendidikan dalam lingkup ‘nation’ yang sempit. Ki Hajar memiliki visi yang cukup luas. Seperti yang dikatakan atase pendidikan Indonesia di India, Iwan Pranoto, Kunjungan Tagore (tokoh besar India) ke pulau Jawa dan pertemuannya dengan Ki Hajar di Yogyakarta–Ketika itu Paulo Freire baru berusia 6 tahun— disebut sebagai pertemuan dua ‘pelopor Pendidikan Asia’. Selain pertukaran pengajar Antara Taman Siswa (Ki Hajar) dengan Visva Bharati (Tagore), ia menyatakan bahwa keduanya memiliki visi tentang ‘Manusia Asia’.  Selain itu, perlunya membahas ‘Adab’ di abad 21 yang ditandai dengan era digital, disebutkan Pranoto sebagai berikut:

“Bila yang kita bicarakan adalah nasib pertumbuhan bangsa dalam konstelasi perkembangan peradaban dunia, maka yang merupakan ujung tombak disana adalah pendidikan. Pada laporan mendasar, pendidikan adalah perkara mencipta ulang kebudayaan; khusus kebudayaan dalam arti pola berfikir dan sikap mental, alias keadaban. ”

Kemudian dihalaman lain;

“… cara pandang kesetaraan budaya tanpa superioritas yang diteladankan Rabindranath Tagore bersama Ki Hajar Dewantara layak direnungkan dalam perumusan diplomasi budaya di abad ke-21 ini”

Pentingnya membahas Adab dalam dunia pendidikan tenyata bukan semata-mata alat pertahanan identitas nasional yang kaku. Adab, justru menjadi penyeimbang kedudukan bangsa dalam rangka menjadi bagian dari peradaban dunia. Adab, adalah daya tawar kita ketika berhadapan dengan peradaban dunia, bukan sekedar alat pertahanan yang memiliki kecenderungan anti kepada hal yang bermakna ‘eksternal, dari luar dan asing’. Sejarah membuktikan, peradaban Indonesia menjadi besar karena proses kreatif bangsa Maritim ini dalam menyerap peradaban-peradaban besar yang singgah dalam proses sejarah panjang. Lalu, apa adab menurut Ki Hajar?

ADAB SEBAGAI ILMU DAN PENGAJARAN

Pembahasan Adab disebut ki Hajar sebagai ‘Ilmu Adab’. Dalam pernyataannya, ki Hajar menyamakan (1) Antara Ilmu adab dan ethic, kemudian memasukan (2) Ilmu adab sebagai bagian dari ilmu filsafat untuk menuju kearah kesempurnaan hidup. Berakar pada makna ‘Ethik’, Ki Hajar memaknainya sebagai (3) sistem dan Metode. Susunannya seperti ini, Adab = ethic berawal dari Socrates (metafisika), kemudian membaginya menjadi dua, (a) kebahagiaan pancaindera dan (b) kebahagiaan mutlak. Antara Idealistis dan materialistis. Cara memahaminya (episteme, pen) dibagi menjadi tiga; ilmu, keagamaan, dan pengalaman/perasaan yang mendasar pada teori Frits Kunkel, Frits van Enden dan Herbart. Menarik, kesimpulannya adalah 1) Manusia dibekali budi dan rasa iman, 2) kekuatan jiwa, dan 3) Tuhan sebagai sumber kebahagiaan.

Ketika membahas pengajaran, ki Hajar menyebut (1) ‘Adab yaitu sifat ketertiban (tata) dalam hidup manusia, lahir dan batin, hingga hidup manusia itu terlihat berbeda dengan hidup dari makhluk-makhluk lainnya.’  Kata ‘terlihat berbeda’ memang akan menjadi perdebatan, seperti; sejauh mana ‘terlihat berbeda’ dalam kacamata pancaindera atau metafisika? Namun, mari kita lanjutkan terlebih dahulu. Selanjutnya dikatakan (2) Adab adalah ‘buahnya iradat hidup’. Kemudian, buahnya berbentuk ujud tertib, baik dan indah, yang keluar dari akal budi manusia disebut ‘Buah keadaban’. Thus, kumpulan buah keadaban itu bernama kebudayaan.

Adab juga bisa bermakna negatif, (3) ketika sistem sekolah membuahkan adab yang ‘ditaktur intelek.’ Hal ini disebut sebagai bahaya sistem kenalaran. Seperti materialisme, egoisme, kemunduran budi-pekerti, dan kurang memberi tuntunan hidup. Dalam rangka menolak ‘ditaktur intelek = intelektualisme’ tersebut, muncullah buah adab yang melahirkan ditaktornya sistem sekolah (4.1) dan sistem pengajaran sesat (4.2) yang ditimbulkan karena merespon intelektualisme namun malah menghalangi jiwa merdeka. Sistem pengajaran sesat ini dikatakan seperti semata-mata menghafal dengan paksaan, rasa takut pada hukuman, dan belajar dengan maksud hanya demi mendapatkan nilai bagus di raport saja. Hal ini disebut ki Hajar sebagai (4) bersifat tambahan-alat pendidikan watak.

Pada pengertian lain, ki Hajar menyebutnya sebagai (5) pengajaran-adab. Meski tidak memberikan makna yang jelas mengenai pasangan dua kata tersebut, setidaknya pengertian pengajaran-adab dimaknai sebagai pengajaran jiwa dan raga. Mendidik raga dan mendidik jiwa. Karena jiwa dan raga berkembang, dibuat fase (6) kemajuan kecerdasan jiwa-raga sebagai berikut. Yakni alam windu pertama, sebagai alamnya anak-anak dimana pendidikan diarahkan pada permainan, menyanyi, menggambar, ceritera dan lainnya. Kemudian alam windu kedua alamnya anak-anak muda yang disebut pengajaran dan pembiasaan pada laku adab seperti setia, berani, teguh, sejuk hati, telaten, suka beramal dan lainnya. Terakhir alam windu ketiga alamnya anak-anak dewasa/akil-balig bersifat pendidikan-watak. Dengan peralatan ilmu, mendapatkan keinsyafan mempraktekan laku-adab; pendidikan rasa. Jadi, windu pertama pengajaran hanya pada aktif-pasif pancaindera, windu kedua pelajaran seni, windu ketiga—meskipun disebut pendidikan rasa—yang dimaksud adalah kehalusan budi yang terdiri dari etika dan estetika.

CAKUPAN ADAB DAN ISINYA

Ki Hajar juga membuat (7) Susunan pengajaran Adab berdasarkan isinya. Terdiri dari lima susunan. Pertama Taman Indria. Untuk umur 5 tahun mendidik rasa dan fikiran, serta menerima keindahan dalam sanubarinya yang disingkat menjadi pasif-estetis. Ia menyebut prakteknya seperti ‘mendengarkan cerita … diambil dari daerah terdekat… tidak usah hafal… asalkan turut merasakan sudahlah cukup.’ Menarik, karena hal ini bertentangan dengan calistung anak usia dini zaman sekarang. Kedua Taman kanak-kanak 8-10 tahun yakni pendidikan bagi kesuburan jiwa, yang dipraktekan dengan pengajaran adat istiadat sebagai alat yang hidup.

Ketiga taman muda umur 11-14 tahun.  Yakni mengajarkan ‘keadaban moral’ yang terkandung dalam sebuah cerita meliputi seluruh Indonesia yang terdiri dari babad dan mitologi yang dimuliakan. Keempat taman dewasa umur 15-18 tahun.  Yakni, pengajaran dan pembiasaan badan seperti penyempurnaan diferensiasi dan selfdisiplin. Khusus olahraga dan seni dituntun oleh orang yang sudah tua. Kelima taman Dewasa raya umur 19-20 tahun. Yakni mempelajari ilmu pengetahuan, ilmu agama dan ilmu adab dalam umumnya. Selebihnya hampir mirip dengan fase Alam Windu ketiga.  Meski demikian terkemuka beberapa istilah seperti Ilmu adab, Pengajaran adab,laku adab, keadaban moral dan lainnya.

Tidak ada keterangan jelas bagaimana sistematika tiga alam windu kecerdasan jiwa-raga dengan lima susunan pengajaran adab. Namun yang pasti keduanya disebut sebagai Pokoknya Pendidikan.  Maka sangat boleh apabila kita menyebutnya kemudian menjadi tiga alam windu lima susunan pengajaran adab sebagai kesatuan organis mirip empat sehat lima sempurna. Dimana keduanya tidak terhubung secara langsung, namun tiga windu tersistematisasi secara rinci dalam lima susunan pengajaran adab.

ADAB PONDOK PESANTREN

Bagi kehidupan modern, adab di Pondok pesantren masih dipandang bernuansa ‘feodal’, tidak emansipatoris bahkan dianggap ketinggalan zaman. Seperti contoh membungkuk dihadapan kyai, merapihkan sandal, mencium tangan ‘bolak-balik dan sebagainya. Namun prilaku tersebut bagian dari cara ‘melatih’ dan mengasah ‘akhlak’ santri. hal ini dikemukakan oleh salahsatu Ustadz di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah:

“ sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, tentunya landasan semua bidang pendidikan di Pesantren berdasarkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama…dalam bidang adab (akhak) tidak ada friksi (Mazhab) seperti dalam bidang Aqidah atau Fiqih.”

Diluar dugaan, bapak pendidikan yang dikenal memiliki semangat merdeka yang tinggi, emansipatoris, dan progresif malah menyarankan model pengajaran Pondok Pesantren. Ki Hajar malah menyiapkan suatu mekanisme menyelesaikan masalah pengajaran—khususnya dalam hal ini adalah intelektualisme, materialisme dan egoism—yang diakibatkan sistem sekolah (schoolsysteem). Menurutnya, persoalan tersebut bisa diatasi dengan dua proses pengajaran yang dilakukan diluar (melalui perantara) dan didalam rumah dengan keluarga itu sendiri.  Yakni dengan 1) Sistem pondok asrama dan 2) suasana hidup-keluarga. Maksudnya agar anak didik yang terjangkit masalah diatas karena sistem sekolah, bisa kembali pada hidup-keluarga.

Sebagai pengajar dan pernah belajar di Pondok Pesantren, saya memahami bahwa sifat inteletualisme, materialisme dan egoisme akan mudah luntur bila berhadapan dengan sistem pondok asrama, dalam hal ini pondok pesantren. Jauh dari keluarga, kesamaan nasib secara koletif dan disiplin yang tinggi dalam menghormati guru/ustadz bisa jadi penyebab lunturnya masalah tersebut. Menurut ke Hajar, system sekolahan ‘perguruan’ yang masih di anut dalam Pondok Pesantren. Dimana menggabungkan Antara tiga kepentingan. Yakni pengajaran di rumah-gurunya, tempat-rumah si gurunya (ashrama), dan memiliki aliran yang pasti.

Hubungan adab dengan hidup-keluarga adalah, bahwa ki Hajar menganggap ketiga hal tersebut telah mempengaruhi atau—dalam skala yang lebih jauh—menghancurkan hubungan hidup-keluarga. Anak yang terlalu intelek materialis dan egois–maksudnya ki Hajar–bisa diatasi dengan cara ‘perantara’ dipondokpesantrenkan agar ketika kembali pada ‘keluarga’ ia memiliki hal yang selama itu hilang tergerus sistem sekolah. Hidup-keluarga bisa dimaknai sebagai memperbesar peran keluarga dalam membentuk adab anak didik seperti penciptaan suasana yang selalu diliputi oleh ‘cinta kasih.’

Peristilahan Adab juga dikaitkan dengan bersusila. Bahkan Ki Hajar menyebut bahwa Adab sama artinya dengan susila. Caranya, perkataan ‘adab’ diartikan keluhuran budi manusia. Meski diakuinya sendiri arti tersebut lebih tepat untuk ‘peri keadaban.’ Sedangkan susila, menurut Ki Hajar, berarti kehalusan budi manusia. Padahal diakuinya juga, arti tersebut lebih tepat untuk kata ‘kesusilaan’. Sekilas, Ki Hajar tidak tertib dan konsisten dalam peristilahan Adab. Sebelumnya ia menyamakan adab dengan ‘etik’, sekarang ia menyamakan ‘adab’ dengan keluhuran-kehalusan budi manusia sebagai kesusilaan dan peri keadaban.

Kemudian, keluhuran-kehalusan budi dikatakan ki Hajar membuat manusia menjadi makhluk terpilih, berbudi dan sebagainya. Perbedaannya, keluhuran, menunjukan sifat hidup batinnya manusia sedangkan kehalusan menunjukan sifat hidup lahirnya manusia. Jadi sifat Lahiriah adalah kesusilaan dan batiniah adalah keluhuran. Kemudian ia menyamakannya, bahwa etis = luhur dan estetis= halus. Berarti adab= luhur= batin= etis, sedangkan Susila= halus= lahir= estetis. Artinya Adab adalah suatu peristilahan yang cukup fleksibel dan bisa dikaitkan dengan nilai-nilai lainnya. Padahal hal ini belum mencakup semua yang disebut sebagai ‘Ilmu Adab’. Justru artinya, adab adalah suatu nilai yang bisa terus digali maknanya setiap zaman.

Jakarta, 2 Desember 2019

 

Sumber:
– Dewantara, Ki Hadjar. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan.
Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa
– Iwan Pranoto, Kasmaran Berilmu Pengetahuan, (Jakarta: Buku Kompas, 2019)