Jum’atan Darurat Corona ala Ibnu Hazm

Pada 11 Maret 2020, WHO meningkatkan status epidemi Corona menjadi pandemi karena tidak hanya di Cina dan sekitarnya, tetapi telah menyebar luas lintas benua. Para peneliti Cina memprediksi kasus pertama Corona terjadi pada 17 November 2019 yang menimpa seseorang berusia 55 tahun berasal dari Provinsi Hubei. Sebulan setelahnya, Corona menyebar di Cina dan puncaknya terjadi pada akhir Februari. Pada bulan Maret, saat kasus Corona di Cina menurun, virus ini mulai menyerang Eropa, Amerika, Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.

Virus Corona sangat cepat menyebar karena cara penularannya dari orang ke orang dan lebih dipercepat lagi oleh jangkauan transportasi antardaerah bahkan antarnegara. Terlebih lagi transmisi virus Corona dipengaruhi oleh perilaku migrasi manusia dalam skala besar. Demi mencegah penyebaran virus ini, para pakar epidemologi menyarankan kita agar sebisa mungkin untuk menghindari kontak fisik dan tidak melaksanakan acara dan kegiatan apapun yang mengumpulkan banyak orang, termasuk pelaksanaan ritual agama, termasuk Islam.

Tidak semua ritual Islam dilaksanakan dengan pengumpulan massa atau jama’ah. Hanya jum’atan yang terbiasa dilaksanakan dalam jumlah banyak, sedangkan umroh dan haji soal waktu pelaksanaannya yang membuat jutaan umat harus berkumpul secara massal. Dalam kondisi pandemi Corona seperti ini, umroh sudah dihentikan sementara, sedangkan haji masih dalam pengkajian mendalam dan memungkinkan untuk ditiadakan juga. Tersisa jum’atan yang perlu diperhatikan serius agar pelaksanannya tidak menjadi sumber penularan Corona.

 Tiada Jum’atan Saat Darurat

Di kawasan Arab yang terdampak Corona, salat berjamaah dan jum’atan sudah ditangguhkan pelaksanannya di masjid sebagai upaya pencegahan penularan virus ini. Di Indonesia, Muhammadiyah (Maklumat, 2020), MUI (Fatwa, 2020), lalu Lembaga Bahtsul Masail NU (Pandangan Keagamaan, 2020), secara umum sepakat jika seseorang positif terjangkit Corona atau suatu kawasan termasuk zona darurat dan waspada Corona, maka tidak boleh melaksanakan jum’atan di masjid, tetapi diganti salat Zhuhur di rumah masing-masing.

Dengan pendapat di atas, maka segala aktivitas kumpul-kumpul non-ibadah mahdhoh yang bersifat sunnah atau mubah menjadi haram li ghairih. Maksudnya haram karena faktor eksternal yang menyertainya, bukan aktivitasnya sendiri. Pandangan di atas didasarkan pada beberapa dalil yang secara umum berpusat pada kaidah menghindari kemudaratan bagi sendiri dan orang lain. Kaidah ini berdasar pada firman Allah Swt. “Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesunguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. an-Nisa: 29).

Pendapat di atas merupakan jalan terbaik demi mencegah penularan covid-19 secara masif, khususnya di kalangan umat Islam. Kecepatan penularan wabah Corona dalam kumpulan atau kerumunan manusia merupakan argumentasi absah dan valid sekaligus termasuk kategori ‘udzur syari’, yaitu alasan-alasan rasional yang meringankan dalam pelaksanaan ritual ibadah tertentu, bahkan tidak boleh melaksanakannya. Kategori ‘udzur syari’ ini bermacam sumbernya, bisa bersifat medis, sosial, ekonomi, politik, dan lainnya.

Namun, bukan fiqih kalau tidak ada perdebatan dan beda pandangan. Dalam Islam, perbedaan pendapat itu keniscayaan tak bisa dihindari. Apalagi dalam persoalan yang bukan pokok dan inti ajaran Islam (ma’lumun minad din bid dhoruroh). Maka ada kategori pendapat mayoritas (jumhur), kuat (mu’tamad), lebih sohih (al-asoh), sohih, dan ada pula pendapat minoritas (aqoll), tidak masyhur (gharib) bahkan lemah (dhao’if). Pendapat lemah ini bukan berarti tidak bisa digunakan, tetapi bisa sangat berguna di saat darurat seperti sekarang ini.

Dalam soal jum’atan, semua ahli fiqih berpendapat hukum asalnya adalah wajib atau fardhu ‘ain. Ini contoh hukum Islam. Namun, pada detail pelaksanaan jum’atan, banyak sekali perbedaan pandang antara ahli fiqih, terlebih dalam kondisi darurat seperti sekarang ini. Sebab itu, khsusnya yang berkaitan dengan wabah Corona, masalah apakah jum’atan wajib dilaksanakan secara massal dengan jamaah yang banyak, ini termasuk ranah fiqih Islam, bukan hukum Islam, sehingga tentu saja banyak pandangan yang mengemuka dalam hal ini, dan dalam kondisi normal pun pendapat-pendapat itu dapat dipraktikkan.

Berapa Batas Minimal Jamaah Jum’atan?

Umat Islam sudah terbiasa melaksanakan jum’atan dengan jamaah yang ramai, karena memang berjamaah termasuk syarat sah jum’atan. Semua madzhab fiqih sepakat tentang hal ini, termasuk Ibnu Hazm meskipun ada perbedaan pendapat mengenai batas minimal jamaah jum’atan agar menjadi sah (Jaziri, 2003: 352; Shobuni, 1981: 585; Ibnu Hazm, 1349: 45). Perbedaan ini muncul karena ragam dalil yang digunakan dalam menafisir Surah Al-Jumu’ah ayat 11. Hal inilah yang kemudian menimbulkan selisih pendapat mengenai batas minimal jamaah jum’atan.

Imam Qurthubi (2006: 478-9) menjelaskan bahwa ritual jum’atan sebelum turun ayat tersebut adalah salat jum’at dulu lalu khutbah seperti ritual salat ied. Namun, pada saat Madinah sedang mengalami kelaparan dan mahalnya harga sembako, jum’atan terganggu oleh pebisnis Dihyah bin Khalifah al-Kalabi yang tiba dari Syam dengan membawa bahan-bahan makanan pokok. Lalu Dihyah menabuh kendang sebagai tanda transaksi siap dimulai. Sebagian jamaah pun meninggalkan khutbah jum’at dan lebih memilih mengerumuni dagangannya.

Persitiwa di atas kurang lebih terjadi sebanyak tiga kali dan selalu bertepatan di hari jum’at. Sampai pada suatu jum’atan, saat setelah melaksanakan salat jum’at dan Rasulullah Saw. sedang berkhutbah, Dihyah datang dan sebagian jamaah keluar mengerubunginya tanpa sadar sudah mengabaikan khutbah. Setelah peristiwa ini turun Surah Al-Jumu’ah ayat 11 dan Rasulullah Saw. mengubah ritual jum’atan dengan mendahulukan khutbah sebelum salat, sehingga para sahabat harus izin terlebih dahulu jika ada keperluaan keluar saat khutbah jum’at.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah berapa jumlah jamaah yang tetap menyimak khutbah dan tidak keluar melakukan transaksi jual-beli? Inilah yang kemudian menjadi titik tolak perbedaan pendapat tentang batas minimal jamaah yang menjadi syarat sah jum’atan. Imam Qurthubi (2006: 477-9) mencatat bahwa riwayat yang menceritakan para sahabat yang tetap di masjid pada peristiwa di atas sangat beragam, baik yang menyebut jumlah maupun yang hanya menyebut sekumpulan orang (rahthun), bahkan dari perawi yang sama.

Di antara riwayat yang menyebut jumlah ada yang mengatakan 12 orang seperti riwayat Imam Bukhori dalam No. Hadis 926 (2002: 226) dan Imam Muslim dalam No. Hadis 866 (2014: 22-24). Ada pula yang mengatakan 8 orang (Baghowi, 1992:124), 11 orang  (Ibn ‘Athiyah, 2001: 309), 13 atau 14 orang (Qurthubi, 2006: 478), dan 40 orang dalam No. Hadis 1583 & 1585 (Daruquthni, 2004: 308-10). Kesimpulannya, tidak ada kata sepakat dan valid dalam riwayat tentang jumlah jamaah jum’atan yang tidak terganggu dengan dagangan Dihyah, yang kemudian dikategorikan sebagai lahwun (‘Asqolani, 2013: 713).

Dalam perspektif fiqih, perbedaan pandangan mengenai batas minimal jamaah jum’atan lebih beragam lagi karena tidak hanya berdasar pada dalil naqli (hadis) saja tetapi juga para ahli fiqih menggunakan dalil ‘aqli dan ra`yi atau logika nalar dalam mencerna kebermaknaan diksi jamaah dan berjamaah yang wajib dalam ritual jum’atan, baik secara bahasa maupun istilah. Abdurrahman al-Jaziri (2003: 352-3) mencatat pendapat para imam empat madzhab mayoritas pada tabel berikut:

Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya Madzhab Hanafi yang cenderung menggunakan logika bahasa dalam mencerna wajibnya jum’atan secara berjamaah. Sebagaimana dimaklumi, secara bahasa diksi jama’ah yang berakar dari kata jama’ mengandung arti jumlah lebih dari dua, sehingga kumpulan tiga orang pun dapat dikategorikan sebagai jamaah. Sementara itu, tiga mazdhab lainnya masih membasiskan pandangannya pada riwayat-riyawat seputar jumlah jamaah jum’atan, sebagaimana telah dibahas di atas.

Di luar madzhab empat di atas, Ibrahim al-Bajuri (2015: 577) seraya mengutip Ibnu Hajar al-‘Asqolani (2013: 713-4) mencatat ada lima belas pendapat, termasuk empat madzhab di atas, dalam masalah jumlah minimal jamaah jum’atan. Al-‘Asqolani sendiri cenderung lebih memilih pendapat terkahir, yaitu dihadiri orang banyak tanpa ada batasan jumlahnya. Berikut tabel perbedaan pendapat tersebut:

Konfigurasi tabel di atas menggambarkan khazanah kelenturan dan toleransi fiqih yang yang diakui oleh umat Islam, terutama para akademisi muslim. Ada keseimbangan dalam menggunakan teks dan nalar. Tidak terjerumus ke dalam jurang rigiditas teks dan liberalitas konteks dalam praktik fiqih kegamaan yang memang terbangun dari hasil ijtihad pemahaman terhadap dalil-dalil nash dan realitas kemasyarakatan. Bahkan pendapat nyeleneh Ibnu Hazm pun tetap diperhitungkan meskipun termasuk yang minoritas.

Jum’atan ala Ibnu Hazm

 Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi atau yang dikenal dengan Ibnu Hazm diposisikan sebagai sukesor Dawud bin Ali azh-Zhoiri, pendiri madzhab Zhoiriyah, aliran fiqih yang mengedepankan dalil tekstual dari Alquran dan Hadis. Berkat Ibnu Hazm, madzhab Zhoiriyah terus terjaga dan terekam dalam karya-karyanya sampai saat ini, sebab pendiri madzhabnya sendiri tidak mewariskan turats keislaman. Praktis, rujukan utama madzhab Zhoiriyah adalah masterpiece Ibnu Hazm.

Salah satu mahakarya Ibnu Hazm adalah kitab fiqih bernama al-Muhalla bil Atsaar. Pembahasan dalam kitab ini sistematis seperti karya-karya fiqih madzhab mayoritas. Di dalamnya memuat persoalan ‘ibadah, mu’amalah (bisnis), munakahah (perdata), jinayat (pidana), meskipun tidak menggunakan istilah fashl atau bab, tetapi kitab dan mas`alah seperti dalam tafsir Mafatihul Ghaib-nya Ar-Razi dan Jami’ul Ahkam-nya al-Qurthubi. Dalam kitab ini, permasalahan jum’atan dijelaskan mulai dari masalah nomor 521 sampai 542.

Secara umum, ritual jum’atan versi Ibnu Hazam tidak jauh berbeda dengan pendapat madzhab lain. Banyak perbedaan terletak pada hal-hal yang juga diperdebatkan oleh madzhab mayoritas. Untuk lebih memudahkan, tabel di bawah menggambarkan persamaan dan perbedaan versi madzhab mayoritas (2003: 341-66) dan Ibnu Hazm (1349: 42-81) dalam hal-hal pokok ritual jum’atan, kemudian akan dibahas mengenai perbedaan mendasar soal  jum’atan yang sesuai dengan kondisi pandemi Corona saat ini.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ada kesepakatan antara madzhab mayoritas dan Ibn Hazm pada poin satu sampai tiga. Meskipun ada perbedaan sedikit pada porsi waktu jum’atan menurut Madzhab Maliki dan Hanbali, tetapi para penganut madzhab tersebut tetap melaksanakan jum’atan di waktu Zhuhur juga . Selain itu, ada juga perbedaan mencolok pada unsur wajib ritual jum’atan pada poin 4, 5, dan 6. Ketiga poin inilah yang memberikan peluang besar bagi manusia yang tetap keukeuh ingin melaksanakan jum’atan di saat pandemi Corona.

a. Cukup Imam dan Satu Makmum

Sama seperti para ahli fiqih lainnya, menurut Ibnu Hazm, berjamaah dalam ritual jum’atan dengan ciri khasnya dua rakaat dan bacaan imamnya lantang adalah wajib. Terminologi berjama’ah pada ritual jum’atan dalam perspektif Ibnu Hazm berlandaskan pada definisi berjama’ah, yaitu pelaksanaan salat yang terdiri dari satu imam dan minimal satu makmum, sebagaimana dinyatakan pada teks betikut:

وَالْجُمُعَةُ إِذَا صَلَّاهَا إِثْنَانِ فَصَاعِدًا رَكْعَتَانِ يَجْهَرُ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ وَمَنْ صَلَّاهَا وَحْدَهُ صَلَّاهَا أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يُسِرُّ فِيْهَا كُلَّهَا لِأَنَّهَا الظُّهْرُ

Jum’atan, jika dilaksanakan oleh dua orang atau lebih, dilaksanakan dengan dua raka’at dan bacaan nyaring. Namun, jika dilakukan sendirian, jumlahnya tetap empat raka’at dengan bacaan lirih karena itu adalah salat Zhuhur (bukan jum’atan). ( 1349: 45)

Pernyataan Ibnu Hazam di atas juga menjadi koresksi bagi Ibnu Hajar dan Ibrahim al-Bajuri yang mengira bahwa jumatan versi madzhab Zhohiri dapat dilakukan sendirian. Padahal bagi Ibnu Hazam, jum’atan dengan ciri khas dua raka’at dan bacaan keras wajib dilaksanakan secara berjama’ah meskipun hanya terdiri dari imam dengan satu makmum. Bahkan Ibnu Hazm sendiri tidak sepakat dengan ulama -meskipun tidak menyebut nama- yang berpendapat bahwa salat Jum’at tetap berjumlah dua raka’at, dilakukan sendiri ataupun berjama’ah.

Menurut Ibnu Hazm, pendapat tersebut salah karena Jum’at adalah nomenklatur islami, tidak ada pada zaman pra-Islam. Sebelum masa Islam, hari Jum’at disebut “’Arubah”, kemudian pada masa Islam dinamai dengan Jum’at karena pada hari itu umat Islam berkumpul untuk melaksanakan salat Jum’at, sebuah sebutan yang akar diksinya diambil dari kata jamak (banyak). Maka, jum’atan tidak bisa dilaksanakan kecuali secara berjama’ah. Kalau tidak berjama’ah maka namanya bukan jum’atan, tetapi salat Zhuhur (1349: 45).

Istilah berjama’ah inilah yang kemudian menjadi titik perselisihan para sarjana fiqih. Ada yang memaknai berjama’ah dari sudut padang sosial, bahasa, dan fiqih, sehingga melahirkan angka-angka yang membatasi jumlah minimal kejama’ahan. Berjama’ah secara sosial selaras dengan pandangan Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Habali, secara bahasa sejalan dengan kalangan Hanafi, sementara secara fiqih an sich dianut oleh Ibnu Hazm, yang meskipun relatif sama dengan Madzhab Hanafi, tetapi keduanya berbeda pada landasan memaknai berjama’ah.

Ibnu Hazam menyangkal semua pendapat yang menyebut angka tertentu sebagai batas minimal jama’ah jum’atan. Jika landasan hadisnya dhoif, Ibnu Hazm mengecam dengan menjelaskan letak kelemahannya. Namun, jika hadisnya sohih seperti yang digunakan oleh Imam Syafi’i, yang berpadangan minimal 40 orang atau Abi Yusuf yang berpendapat minimal 3 orang, Ibnu Hazm pun tetap membantah bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah mengatakan “tidak boleh jum’atan kalau jama’ahnya kurang dari 40 atau 3 orang” ( 1349: 47-48).

Lalu apa yang mendasari pandangan Ibnu Hazm di atas? Berikut adalah landasan tekstual Ibnu Hazm dalam masalah batas minimal jama’ah jum’atan:

وَأَمَّا حُجَّتُنَا فَهِيَ مَا قَدْ ذَكَرْنَاهُ قَبْلُ مِنْ حَدِيثِ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَهُ: “إذَا سَافَرْتُمَا فَأَذِّنَا وَأَقِيْمَا وَلْيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا” فَجَعَلَ عَلَيْهِ السَلَامُ لِلإٍثْنَيْنِ حُكْمَ الْجَمَاعَةِ فِي الصَّلاَةِ

Argumen kami adalah hadis yang diriwayatkan dari Malik bin Huwairis bahwa Rasululah Saw. pernah bersabda: “Saat kalian berdua bepergian (dan hendak melaksanakan salat), maka azan dan iqomahlah, hendaklah yang paling tua usianya menjadi imam.” Rasululah Saw. menjadikan dua orang menjadi batas minimal berjama’ah dalam salat. (1349: 48)

Ibnu Hazm hanya mencantumkan satu hadis di atas, yang sekilas menjelaskan anjuran azan dan iqamah serta tuntunan berjamaah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan jum’atan. Pun tanpa menerangkan kualitas hadis dan penjelasan lebih lanjut. Setelah menyodorkan hadis tersebut, Ibnu Hazm lebih banyak menjelaskan di mana letak berdiri seorang makmum saat berjama’ah jum’atan dan menganggap itu bukan hal yang prinsipiel. Juga membahas persoalan bagaimana tata cara jum’atan jika makmumnya belum datang atau makmum masbuk.

Hadis di atas diriwayatkan juga oleh Nasa`i (2001: 419) pada bab yang menyangkut azan, iqamah, dan imam serta Tirmidzi (2016: 405) pada bab azan di saat bepergian. Menurut Tirmidzi kualitas hadis ini adalah hasan sahih. Lalu, jika jum’atan boleh dilaksanakan dengan formasi ganda seperti di atas, tentu hal ini akan menyebabkan adanya multi jum’atan di satu pemukiman, daerah atau kawasan. Apakah hal ini akan berpengaruh terhadap keabsahan jum’atan-jum’atan tersebut?

b. Banyak Jum’atan di Satu Kawasan

Sependapat dengan madzhab mayoritas, Ibnu Hazm juga membolehkan ritual jum’atan dilakukan oleh dua kelompok jama’ah atau lebih dalam satu desa atau kawasan. Perbedaaanya hanya sedikit, madzhab mayoritas membolehkan hal tersebut dengan alasan masalah kedaruratan atau kebutuhan seperti masjidnya tidak menampung jama’ah lagi, ada konflik kekerasan atau lainnya. Sementara itu, Ibnu Hazm tidak menyaratkan hal tersebut, berapapun jumlah jum’atan di desa atau kota, status semuanya sah, seperti pernyataannya berikut:

وَإِنْ صُلِّيَتْ الْجُمُعَةُ فِيْ مَسْجِدَيْنِ فِي الْقَرْيَةِ فَصَاعِدًا جَازَ ذَلِكَ

Jum’atan suatu desa/kampung boleh dilaksanakan di dua masjid atau lebih.  ( 1349: 49)

Ibnu Hazm beralasan bahwa Allah Swt. mewajibkan berangkat jum’atan ketika sudah ada panggilan azan jum’atan, bukan sebelumnya. Jika di satu daerah -apalagi luas- hanya ada satu tempat jum’atan, ini akan membuat orang yang jaraknya jauh ketinggalan salat jika berangkat di waktu yang diwajibkan untuk berangkat jum’atan, yaitu azan. Oleh karena itu, harus ada masjid jum’atan di setiap komuitas masyarakat yang memudahkan mereka untuk berangkat di waktu wajib agar mereka tetap mendapatkan khutbah dan salat jum’at (1349: 54).

Selain argumen di atas, Ibnu Hazm juga menggunakan dalil tekstual yang diriwayatkan dari Abi Hurairoh bahwa para sahabat di Bahrain bertanya tentang pelaksanaa jum’atan kepada Umar bin Khottob, yang menjawab bahwa “jum’atanlah di manapun kalia berada.” Pendapat Khalifah kedua yang terdapat di dalam Mushonnaf Ibn Abi Syaiah ini (2004: 537) menyiratkan bahwa jum’atan tidak terbatas ruang, kota atau desa wajib mengadakan jum’atan di mana pun tempatnya, sehingga memungkinkan adanya multi jum’atan di suatu daerah.

Selain agurmen Umar bin Khottob, Ibnu Hazm juga membasiskan pendapatnya dari pendapat ‘Amr bin Dinar bahwa “masjid yang digunakan banyak orang untuk salat boleh digunakan untuk jum’atan.” Juga riwayat dari Abdurrazzak bin Ibn Juraih yang bertanya kepada Atho bin Abi Robah tentang masjid agung kota Bashroh yang sudah tidak dapat lagi menampung jama’ah jum’atan. Atho’ bin Abi Robah pun mengungkapkan pandangannya bahwa “setiap masyarakat boleh memiliki masjid untuk jum’atan, dan itu sah-sah saja bagi mereka” ( 1349: 54).

Pandangan Ibnu Hazm di atas selaras dengan kondisi masyarakat Islam masa kini, terutama di perkotaan atau kawasan berpenduduk padat. Sejatinya, jika ditelaah lebih dalam, pendapat Ibnu Hazm tersebut pun tetap mempertimbangkan realitas di lapangan, bukan sekadar banyak-banyakan masjid sehingga mereduksi hakikat jum’atan sebagai ibadah sekaligus muktamar kemasyarakatan. Masalahnya, jika jum’atan hanya dua orang, tentu ini memerlukan banyak masjid, dan ini susah terpenuhi. Jadi, bolehkah jum’atan di rumah atau selain di masjid?

c. Jum’atan Selain di Masjid

Para pakar fiqih, termasuk Ibnu Hazm (1349: 76) sepakat bahwa luberan jama’ah di luar masjid dihukumi sah jum’atannya dengan syarat ada keterkaitan barisan antarjama’ah. Perbedaan pendapat mengemuka dalam persoalan jarak antarjama’ah dan imam saat ada pembatas atau ruang sela. Madzhab Mayoritas memberikan batasan-batasan terentu dalam jarak sah berjama’ah, tapi bagi Ibnu Hazm sungai besar atau kecil, jalanan, parit, dan tembok bukan termasuk penghalang kesahan berjama’ah (1349: 76).

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukumnya jika pusat jum’atan bukan di masjid, tapi bangunan nonmasjid, lapangan atau rumah? Sebagaimana tabel di atas, hanya Madzhab Maliki yang mewajibkan pusat pelaksanaan jum’atan harus berada di masjid, tidak boleh ritual utama jum’atan di selain masjid. Adapun jama’ah yang meluber ke luar masjid sama seperti pendapat di atas, yaitu tetap dihukumi sah asalkan tetap ada keterhubungan barisan jama’ahnya dengan imam di masjid (Sahnun, 1994: 232-3).

Berbeda dengan Madzhab Maliki, Madzhab Hanafi (Aini, 1990, 53-4), Madzhab Syafi’i (Haitami, tt:234), dan Madzhab Hanbali (Ibnu Qudamah, 1968: 246), membolehkan pelaksanaan jum’atan di selain masjid. Bagi tiga madzhab ini, masjid bukan syarat sah dalam jum’atan. Jum’atan sah dilaksanakan di lapangan yang berada di sekitar pemukinan masyarakat. Namun, tidak ditemukan pendapat yang tegas membolehkan jum’atan di rumah, meskipun secara tersirat masuk dalam kategori nonmasjid.

Dalam Al-Muhalla, Ibnu Hazm tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas tentang boleh tidaknya pusat pelaksanaan jum’atan di  selain masjid. Ibnu Hazm hanya menyinggung keabsahan pelaksanaan jum’atan di tempat-tempat sekeliling masjid karena adanya keterbatasan daya tampung masjid dengan syarat tetap menyambung dengan shaf-shaf di depannya dan tidak berada di depan imam (1349: 76). Kalau jum’atan boleh di laksanakan hanya dua orang dan tidak di masjid seperti pendapat tiga madzhab di atas, lalu bagaimana dengan prosesi khutbahnya? Apakah itu tidak terasa sia-sia?

d. Hukum Khutbah Jum’at

Khutbah atau pidato satu arah merupakan ciri khas yang membedakan ritual jum’atan dengan salat harian lainnya. Bagi madzhab mayoritas, khutbah merupakan rukun jum’atan. Oleh karena itu, tidak sah ritual jum’atan jika tidak ada khutbah sebelum salat. Bahkan ada kalangan ulama yang memandang bahwa yang dimaksud dengan kalimat فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ pada Surah Al-Jumu’ah ayat 9 adalah khutbah jum’atan, sehingga ada dua kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat Islam pada hari Jum’at, yaitu salat dan khutbah Jum’at.

Pendapat di atas dibantah oleh Ibnu Hazm yang berpendapat bahwa awal ayat tersebut menyebutkan panggilan dan perintah berangkat untuk salat Jum’at. Selain itu juga, pada ayat berikutnya menjelaskan aktivitas setelah salat Jum’at, tidak ada kaitan sama sekali dengan khutbah. Oleh karena itu, yang wajib dalam jum’atan hanya satu, yaitu hanya salat saja, sedangkan dzikirillah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah takbir, tasbih, tahmid, bacaan Quran, dan tasyahud, bukan lainnya (1349: 59).

Karena itu, bagi Ibnu Hazm khutbah Jum’at berhukum sunnah, sebagaimana pernyatannya berikut:

وَيَبْتَدِئُ الإِمَامُ -بَعْدَ الأَذَانِ وَتَمَامِهِ- بِالْخُطْبَةِ فَيَخْطُبُ وَاقِفًا خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا جِلْسَةً. وَلَيْسَتْ الْخُطْبَةُ فَرْضًا. فَلَوْ صَلاَّهَا إمَامٌ دُونَ خُطْبَةٍ صَلاَّهَا رَكْعَتَيْنِ جَهْرًا

Setelah azan, imam memulai ritual jum’atan dengan khutbah. Imam khutbah sebanyak dua kali sambil berdiri dan duduk di antara keduanya. Khutbah bukan kewajiban (jum’atan). Maka kalau imam hanya salat tanpa khutbah Jum’at, maka salatnya tetap dua raka’at dengan bacaan yang keras. (1349: 57)

 Selain berargumen dengan ayat di atas dan setelah menyanggah pendapat ahli fiqih yang lain, Ibnu Hazm juga berpijak pada pandangan Hasan Al-Bashri juga Ibnu Sirin yang berpendapat bahwa “siapa yang jum’atan tidak ada khutbahnya, maka salatnya tetap dua raka’at” (1349: 59). Jika khutbah dilaksanakan, Ibnu Hazm juga menyunahkan khutbah dilakukan di atas mimbar, memuat hamdalah, salawat, bersifat ukhrowi, serta perintah dan kewajiban agama (1349: 57). Namun, Ibnu Hazm melarang khutbah jum’at dilaksanakan dalam waktu yang lama (1349: 60).

 Kemaslahatan Bersama

Kemaslahatan bersama wajib menjadi basis utama dalam menetapkan kebijakan di masa pandemi Corona sekarang ini. Begitu pula dalam persoalan keislaman seperti jum’atan. Larangan jum’atan dan diganti dengan salat Zhuhur yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keislaman di Indonesia dan dunia adalah langkah tepat sesuai dengan tuntunan Alquran, Sunah, dan para ulama, meskipun tetap mendapat cibiran dan celaan dari bigot-bigot yang lebih mengutamakan kecepatan mulut daripada ketenangan hati dan pikiran, karena memang kurang pengetahuan dan enggan meningkatkan kesadaran.

Oleh sebab itu, dengan segala pandangan Ibnu Hazm dan kontradiksinya, bagi yang menolak fatwa atau keputusan yang melarang jum’atan, dan ngotot ingin tetap melaksanakannya tapi juga tetap dalam koridor pencegahan Corona, mereka bisa menggunakan pendapat Ibnu Hazm mengenai jum’atan yang cukup dilaksanakan berdua dan tanpa khutbah. Namun, apakah mereka berkenan menerima atau bahkan mengikuti pendapat nyeleneh Ibnu Hazm itu? Toh pendapat yang bernas, maslahat, dan didukung dalil-dalil kuat saja mereka tolak mentah-mentah plus dengan emosional. Jangan-jangan Ibnu Hazm malah dilabeli ulama liberal, ulama su`, bahkan ulama sesat!

Sejatinya jumlah jamaah, tempat, dan multi jum’atan bukan bagian dari hukum Islam yang ma’lumun minad dini bidh dhoruroh, bukan termasuk kesepakatan ulama (ijma’). Ini murni persolan fiqih Islam yang diperdebatkan. Masalah sebenarnya terletak pada kebiasaan yang susah hilang dalam sesaat, termasuk jum’atan dengan segala keramaian jama’ah dan transaksi petugasnya, seolah ada kenikmatan yang hilang dalam ibadah berjama’ah. Apakah kelezatan itu hanya bisa diraih dengan perkumpulan? Tentu tidak. Maka, sudah saatnya kualitas ibadah dan kebaikan ditingkatkan ke level lebih tinggi, yaitu kesadaran tanpa batas ruang dan kebiasaan.[]

 

 

Rujukan

  • ‘Aini, Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad. Al-Binayah fi Syarhil Hidayah, Beirut: Darul Fikr, 1990.
  • Asqolani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Fathul Bari bi Syarhi Sohihl Bukhori, Damaskus: Darur Risalah al-‘Alamiyah, 2013.
  • Baghowi, Al-Husein bin Mas’ud. Ma’alimut Tanzil, Riyadh: Dar Thiybah, 1412 H.
  • Bajuri, Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad. Hasyiatul Imam Al-Bajuri, Damaskus: Dar Nurus Shobah, 2015.
  • Bukhori, Muhammad bin Isma’il. Sohihul Bukhori, Beirut: Dar Ibn Katsir, 2002.
  • Daruquthni, Ali bin Umar. Sunan Ad-Daruquthni, Birut: Muassasah Ar-Risalah, 2004.
  • Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19. Bisa diunduh di https://bit.ly/3bewpvM
  • Haitami, Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar. Al-Fatawa Al-Kubro Al-Fiqhiyyah, Mesir: Abdul Hamid Ahmad Hanafi, tt.
  • Ibn Abi Syaibah, Abi bakr Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim. Al-Mushonnaf, Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 2004.
  • Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said. Al-Muhalla, Mesir: Idarotut Thiba’ah al-Muniriyah, 1349 H.
  • Ibnu Qudamah, Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad. Al-Mughni, Mesir: Maktabah Al-Qohiroh, 1968.
  • Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad ‘Awadh. Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003.
  • Surat Maklumat Pengurus Pusat Muhammadiyah Nomor 02/MLM/I.0/H/2020 Tentang Wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Bisa diunduh di https://bit.ly/2xZmV9s
  • Muslim bin al-Hajjaj. Sohih Muslim, Kairo: Darut Ta`shil, 2014.
  • Nasa`i, Ahmad bin Syu’aib AL-Khurasany. As-Sunan al-Kubro lin Nasa`i, Birut: Muassasah Ar-Risalah, 2001.
  • Pandangan Keagamaan LBM PBNU Tentang Pelaksanaan Shalat Jumat Di Daerah Terjangkit Covid-19 (19 maret 2020). Bisa diunduh di https://bit.ly/2J72GZC
  • Qurthubi, Abi Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr. Al-Jami’ li Ahkamil Quran, Birut: Muassasah Ar-Risalah, 2006.
  • Sahnun, Abdussalam bin Said At-Tanukhi. Al-Mudawwanah Al-Kubro, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.
  • Shobuni, Muhammad Ali. Rowa’iul Bayan: Tafsirul Ayatil Ahkam minal Quran, Damaskus: Maktabah Al-Ghazali, 1981.
  • Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh. Sunan At-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Kabir, Kairo: Darut Ta`shil, 2016.