Beragama di Daerah Mayoritas Nonmuslim

Beragama di daerah yang mayoritas penduduknya nonmuslim mungkin menjadi problem tersendiri bagi sebagian muslim. Masalah halal-haram dan suci-najis adalah wilayah yang harus mendapat kepastian baginya. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan hidup dan ibadah kesehariannya.

“Mas, coba tanya dulu ke pedagangnya, ada daging babinya tidak?” Sergah salah seorang teman ketika hendak makan di rumah makan Padang, di daerah yang penduduknya mayoritas nonmuslim. Ini merupakan satu dari pengalaman yang menggugah rasa keberagamaan penulis saat berada di daerah yang mungkin bisa dikatakan “kurang mendukung” dalam praktik keberislaman.

Terkait hal ini, penulis pernah membaca sebuah hadis dalam kitab Bulûgh al-Marâm, yang di dalamnya Nabi Muhammad Saw. mewanti-wanti para sahabat dalam menggunakan wadah atau peralatan orang-orang nonmuslim. Redaksi hadisnya berbunyi:[1]

عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَومٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لاَ تَأكُلُوا فِيهَا إِلاَّ أَنْ لاَ تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

Dari Abi Tsa’labah Al-Khusyanî RA. Beliau berkata: “Saya bertanya: ‘Wahai Rasulullah, sungguh kami berada di daerah masyarakat Ahli Kitab (nonmuslim). Apakah kami boleh makan (dengan menggunakan) wadah-wadah mereka?’ Rasulullah Saw. menjawab: ‘janganlah kalian makan di wadah-wadah mereka, kecuali kalian tidak menemukan selain itu, maka cucilah (terlebih dahulu) wadah-wadah tersebut dan silakan kalian makan di wadah-wadah tersebut.”

Hadis pada kitab Bulûgh al-Marâm tersebut bersumber dari kitab Sahîh al-Bukhârî[2] dan Sahîh Muslim[3] yang sudah disepakati kesahihannya. Secara tektual, hadis tersebut melarang umat Islam untuk menggunakan wadah atau perabot orang-orang nonmuslim, kecuali tidak ada wadah yang lain dan itu pun harus dicuci terlebih dahulu.

Apakah memang demikian? Kalau tidak begitu, lantas bagaimana seharusnya hadis tersebut dipahami dan disikapi, apalagi ketika seorang muslim berada di daerah yang mayoritas penduduknya nonmuslim? Apakah hadis tersebut dipahami secara tekstual sehingga kita dituntut tidak boleh menggunakan gelas-piring milik nonmuslim sama sekali? Apa implikasi larangan pada hadis di atas, haram atau makruh? Lalu, apa alasan (‘illah) larangan tersebut?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidak bisa hanya mengandalkan pemahaman kita pada satu hadis di atas tanpa menelusuri keterangan-keterangan hadis tersebut yang telah diulas oleh para ulama terdahulu. Karena penulis menemukan hadis tersebut dalam kitab Bulûgh al-Marâm, kemudian dalam kitab tersebut dijelaskan juga sumber hadisnya dari mana, maka penulis mengulas dan menganalisis hadis di atas berdasarkan kitab-kitab yang berkaitan, seperti kitab syarah (penjelasan) Bulûgh al-Marâm, syarah Sahîh al-Bukhârî, syarah Sahîh Muslim[4], dan rujukan-rujukan yang disebutkan di dalamnya.

Dalam salah satu kitab syarah Bulûgh al-Marâm yang berjudul Nail al-Marâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Syaikh Muhammad bin Yâsîn bin Abdillâh menjelaskan bahwa larangan yang termaktub pada hadis di atas berkaitan dengan memakan atau meminum dengan menggunakan wadah orang nonmuslim yang nyata-nyata mereka memasak makanan yang najis seperti daging babi atau anjing, atau meminum khamr (arak) di gelas tersebut. Namun, apabila diyakini akan kesucian wadah-wadah tersebut, maka tidak ada larangan untuk menggunakannya.[5]

Dalam kitab Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam al-Nawâwî menjelaskan bahwa larangan menggunakan wadah-wadah atau perabot nonmuslim bersifat makruh selama tidak diyakini akan kesuciannya. Sedangkan alasan (‘illah) dari pelarangan itu adalah menjijikan. Menurut Imam al-Nawâwî, hadis tersebut berbicara tentang wadah yang memang digunakan untuk memasak daging babi atau untuk meminum khamr (arak). Juga perintah Nabi Muhammad Saw. untuk mencucinya adalah perintah yang bersifat sunah (istihbâb), bukan perintah wajib.[6]

Ibn Hajar al-‘Asqalânî mengutip perkataan Ibn Daqîq al-‘Îd bahwa dalam masalah penggunaan wadah milik nonmuslim terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih (fuqaha). Perbedaan ini didasarkan pada dua hal, yaitu: pertama, hukum asal suatu benda/wadah adalah suci. Kedua, mayoritas nonmuslim tidak menghindari penggunaan najis, seperti minum arak dan memasak daging babi.

Ulama yang mengatakan hukum asal suatu benda adalah suci sampai benar-benar nyata terkena najis (tahaqquq al-najâsah) mengatakan bahwa perintah mencuci pada hadis di atas adalah perintah yang bermuatan sunah (istihbâb), bukan wajib. Selain itu, hadis di atas juga terindikasi dalam kondisi wadah yang nyata-nyata terdapat atau terkena najis (tahaqquq al-najasah).[7]

Dari keterangan-keterangan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa (1) makruh memakai wadah orang-orang nonmuslim apabila tidak yakin akan kesuciannya. (2) Apabila yakin atas kesucian dan tidak tampak ada najis pada wadah tersebut, maka diperbolehkan menggunakannya, tapi disunahkan mencucinya terlebih dahulu sebagai bentuk kehati-hatian.

Walhasil, memahami dan mengamalkan hadis tidak bisa dengan membaca teks hadis dan terjemahannya saja tanpa mengetahui penjelasan lebih lanjut dari para ualama yang lebih mengerti dari kita. Hidup di manapun, meskipun di tengah-tengah mayoritas nonmuslim, hukum-hukum fikih (syariat agama) tetap harus kita amalkan dengan sebaik-baiknya tanpa harus menyusahkan diri sendiri. Wallâhu A’lâm bi al-Sawâb.

 

[1] Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Bulûgh al-Marâm min Adillah al-Ahkâm (Riyad: Dâr al-Qabas, 2014), h. 54.

[2] Lihat dalam Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Riyad: Dâr al-Hadârah, 2015), h. 907.

[3] Lihat dalam Abû al-Hasan Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, Sahîh Muslim (Riyad: Dâr al-Hadârah, 2015), h. 636.

[4] Penulis menggunakan syarah Sahîh Muslim karya Imam al-Nawâwî hanya sebagai loncatan untuk mengetahui keterangan hadis tersebut dan membandingkan dengan pendapat Imam al-Nawâwî dalam magnum opus-nya, kitab Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab dan lebih mengeksplor keterangan-keterangan yang ada dalam kitab Al-Majmû’.

[5] Muhammad bin Yâsîn bin Abdillâh, Nail al-Marâm Syarh Bulûgh al-Marâm (Mosul: al-Zahrâ` al-Hadîtsah, 1983), h. 43-44.

[6] Lebih lanjut, al-Nawâwî Abî Zakariyyâ Muhyiddîn bin Syaraf al-Nawâwî, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 1 (Jedah: Maktabah al-Irsyâd, 1980), h.319.

[7] Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, juz 12 (Riyad: Dâr al-Taibah, 2015), h. 429-430.