Selembar Potret Pendidikan Dasar di Ujung Negeri

Perjalanan ke Nusa Tenggara mengunjungi sesama guru di sana merupakan pengalaman berharga dan menambah rasa syukur. Berikut beberapa percakapan saya dan mereka yang sempat terekam:

“Kadang, kami mengantarkan anak-anak ke rumahnya dan untuk mengingatkan orang tuanya bahwa anak ini punya PR (Pekerjaan Rumah)/ tugas dan meminta orang tuanya untuk mendampingi anak mengerjakannya. Dan, tidak jarang orang tua yang abai.” Estasius P.Yudi (Guru Kelas SD Inpres Auren)

“Kalau anaknya tidak bisa, orang tua menyalahkan kami (gurunya) dan mengatakan ‘yang bodoh itu gurunya’.” Maria A.Mako (Guru Kelas SD Inpres Auren)

“Anak-anak di sini (SD Inpres Sesurai) kurang mengerti Bahasa Indonesia. Jadi, kami mencoba menjelaskan materi-materi pelajaran dengan menggunakan Bahasa Ibu.” Maria Atriyani Bano (Guru SD Inpres Sesurai)

“Ada anak yang tidak masuk sekolah. Lalu kami jemput ke rumahnya. Ternyata dia disuruh menggembala (alih-alih sekolah) oleh orang tuanya.” Maria Gundulva Bas (Guru SD Inpres Sesurai)

Itulah beberapa jawaban guru-guru yang menggambarkan sepenggal potret pendidikan di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar 3T di Kab. Malaka, Nusa Tenggara Timur. Malaka merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Selain berbatasan dengan Timor Leste, kabupaten yang baru ini juga mencakup daerah-daerah yang akses jalannya cukup sulit, seperti daerah yang kami kunjungi, yaitu Desa Takarai dan Desa Babotin Selatan yang masuk ke wilayah Kec. Botin Leobele, Kab. Malaka.

Anak-anak Takarai bersekolah di SD Inpres Manubonu, sedangkan anak-anak Desa Babotin Selatan bersekolah di SD Inpres Sesurai. Anak-anak yang belajar di kedua SD ini memiliki banyak keterbatasan dan kekurangan, baik dari kesadaran berpendidikan, sarana prasarana, maupun tenaga pendidik. Mereka belajar dengan kondisi yang berbeda bila dibandingkan dengan anak-anak yang sekolah di daerah kota, seperti di SD Inpres Betun Kota dan SDN Bakateu, apalagi jika dibandingkan dengan anak-anak SD di kota-kota besar di Indonesia.

Keadaan yang juga tidak jauh berbeda dengan anak-anak yang di daerah terluar adalah anak-anak yang berada di daerah dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, seperti SD Inpres Lalebun  dan SD Inpres Auren yang terletak di Desa Alas Selatan, Kec. Kobalima Timur. Meskipun akses jalan di wilayah perbatasan sudah baik, tetapi kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan masih minim, persis sama seperti kendala yang ada di daerah terpencil.

Jumlah siswa satu rombongan belajar (rombel) kurang dari 20 orang, bahkan ada yang satu rombel hanya tujuh siswa, dan itu bukan hal yang mengherankan. Di samping kesadaran pentingnya pendidikan yang kurang, sebaran penduduk antara satu desa dengan desa lainnya yang tidak merata juga bisa menentukan jumlah siswa tersebut. Tercatat, SD Sesurai memiliki total 55 siswa dari kelas satu sampai kelas enam.

Dari sisi SDM pendidik, hampir setengah pendidik sekolah-sekolah dasar yang kami singgahi memilki kualifikasi setara dengan strata satu pendidikan (S.Pd). Selebihnya, tenaga pendidik ada yang lulusan diploma tiga (D3) dan SMA, yang biasanya merupakan guru-guru honorer atau operator sekolah. Dari segi usia, guru-guru yang kami ketahui mayoritas sudah berkepala lima (50-an).

Kendatipun demikian, guru-guru tersebut masih semangat menuntun anak didiknya belajar. “Kami mohon kepada pemerintah pusat maupun daerah, agar dapat mengadakan semacam pelatihan-pelatihan untuk guru guna meningkatkan mutu dari para pendidik yang berada di daerah pinggiran ini,” keluh Agustinus Tae, seorang guru di SD Negeri Bakateu.

Sarana prasarana di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) sepertinya menjadi objek yang laris manis dalam pembahasan kalangan pemerhati pembangunan. Hal ini berlaku pula dalam bidang pendidikan. Harus diakui, masih banyak sekolah-sekolah di daerah 3T yang memiliki sarana dan prasarana yang kurang memadai. Entah itu bangunan fisik yang sudah mulai rapuh dan retak, bangunan yang masih semi permanen, kelengkapan MCK, dan kekurangan lokal kelas seperti di beberapa sekolah yang kami kunjungi.

Momen menarik yang kami dapatkan ketika berkunjung ke SD-SD tersebut adalah paduan suara ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka menyanyikannya dengan ‘fasih’, dengan menjaga tinggi-rendah not lagu. Seolah-oleh kami berada di tengah-tengah paduan suara sebuah konser, mereka bernyanyi dengan antusias dan khidmat. Sebagian anak-anak dan guru-guru SD daerah 3T di Malaka tetap semangat belajar, meskipun ketika kami berkunjung, mereka sedang memasuki masa pasca Ujian Akhir Semester (UAS). Mereka tetap mengikuti kegiatan perkemahan pramuka dan datang ke sekolah.

Semangat bersekolah di Malaka mungkin sudah jarang ditemui di kota-kota besar yang notabennya sudah memiliki fasilitas yang memadai dan baik. Kita patut bersyukur, justru dengan keadaan yang memprihatinkan semangat belajar mereka begitu tinggi. Namun kita juga patut menyesal bilamana dengan fasilitas yang ada, semangat belajar kita justru berkurang.

Oleh Akrom Halimi dkk,

Tulisan ini adalah refleksi perjalanan kami bertiga (Akrom, Ya’lu, dan Syafiq) mewakili Yayasan Said Aqil Siroj yang ditunjuk oleh Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) yang bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ke daerah Malaka, Nusa Tenggara Timur dalam rangka uji coba modul “Pengelolaan Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Sekolah di Daerah Tertinggal, Terluar,dan Terdepan (3T)” & modul “Penguatan Wawasan Kebangsaan Pendidikan Anak di Daerah Tertinggal, Terluar,dan Terdepan (3T)”