Proklamasi, Pajak, dan Kesederhanaan

ALTSAQAFAH.ID – Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 tepat jatuh pada tanggal 9 Ramadan 1364 Hijriah. Para pejuang kemerdekaan yang beragama Islam, bahu-membahu untuk melaksanakan proklamasi, mungkin, dalam keadaan puasa. Proklamasi tersebut dilaksanakan tepatnya pada jam sepuluh pagi. Tidak ada satu pun foto bersejarah yang merekam peristiwa tersebut menunjukkan bahwa proklamasi diselenggarakan melalui acara yang mewah dan penuh sajian kuliner. Mungkin, kesederhanaan adalah nilai utama yang tersaji, tetapi terlupakan.

Setelah kemerdekaan diraih, rakyat Indonesia bahu-membahu membangun negara dan pemerintahan. Pemerintahan menjalankan berbagai fungsinya termasuk memungut pajak. Namun, baru-baru ini kita saksikan kehidupan anak dan istri pejabat pajak jauh dari kata sederhana. Apakah kemewahan adalah suatu masalah?

Menjadi mewah bukanlah masalah utama. Setiap orang memiliki hasrat untuk menikmati kemewahan. Hal ini menjadi masalah karena para pendiri bangsa hidup dalam kesederhanaan sebagai bagian dari komitmen mereka membangun negara. Negara yang mereka bangun ini kemudian digunakan untuk membiayai, ironisnya, kemewahan beberapa pejabat tersebut. Persoalannya, kemewahan itu dibiayai dari hak si miskin dan kurang mampu. Ironisnya, mereka ini dipungut pajak yang kemudian digunakan untuk kemewahan para pejabat yang tidak pernah berpuas diri atas gaji yang tidak sedikit.

Kita semestinya mewarisi kesederhanaan dari para pendiri bangsa. Sayangnya warisan itu tidak dijaga dengan baik, sedangkan budaya korupsi dan memperkaya diri dengan uang negara semakin menjadi-jadi. Bulan Ramadan yang menjadi saksi momen proklamasi kita, tidak lagi dirayakan dengan sederhana. Budaya konsumtif dari masyarakat menjadikan bulan Ramadan malah menjadi bulan yang paling penuh hiruk pikuk berlebih-lebihan. Acara buka bersama pada bulan Ramadan yang bersifat kultural berubah menjadi formal dan mentradisi sehingga dianggap sebuah keharusan.

Lagi-lagi hal semacam ini dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mengambil selisih “untung” dari momen buka bersama. Beberapa kepala daerah di Indonesia, bahkan menyiapkan anggaran acara buka bersama hingga miliaran rupiah. Namun, di saat yang sama program kemiskinan tidak berjalan dengan semestinya. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas dalam pidatonya pada akhir Januari 2023 menyebut bahwa program-program kemiskinan yang dibuat ASN di daerah jika ditotal sekitar 500 triliun habis tidak sampai ke si miskin. Akan tetapi, habis tersedot untuk program rapat dan seminar kemiskinan di hotel-hotel serta studi banding.

Inilah ironi yang kita hadapi. Program kesejahteraan sosial makin sempit, tetapi program yang mendayagunakan para pejabat makin lebar dan naik. Jika kita merenungkan kembali peristiwa proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang sederhana, ada kesenjangan antara pendiri bangsa dan perilaku pejabat kita hari ini. Momen Ramadan yang seharusnya menjadi peringatan nyata betapa pentingnya berbagi dan menahan diri, sulit menjadi perilaku yang bisa dilaksanakan dalam birokrasi dan ketatanegaraan kita.

Oleh sebab itu, Presiden Joko widodo melarang buka bersama di lingkungan internal pemerintah. Meski demikian, imbauan ini mendapatkan reaksi beragam. Buka bersama telah menjadi tradisi yang mengikat. Meskipun pidato ini ditujukan pada para pejabat pemerintah, tidak sedikit kalangan muslim memprotes larangan ini sebagai sebuah hambatan kepada mereka dalam menjalankan puasa. Ini berkaitan dengan kebiasaan bahwa benar kegiatan buka bersama yang seharusnya diselenggarakan dengan semangat berbagi telah menjadi sebuah rutinitas yang tidak sederhana. Padahal larangan ini adalah reaksi dari terkuaknya hidup mewah para pejabat kita.

Jika kita perhatikan, terkuaknya kehidupan mewah para pejabat kita bukan karena satu peristiwa semata yang menggegerkan: penganiayaan seorang remaja yang dilakukan oleh anak pejabat pajak yang belakangan diketahui hidup mewah melebihi gaji yang didapatkan orang tuanya, yang notabene pejabat di bawah Kementerian Keuangan. Peristiwa ini menjadi melebar karena sudah menjadi rahasia umum bagaimana kebiasaan pejabat di Indonesia membangun “istana” kekayaannya begitu vulgar. Apalagi ditambah bahwa kehidupan mewah ini sengaja dipamerkan melalui media sosial sebagai bagian dari kebiasaan yang lumrah di era digital.

Rasa pamer kekayaan inilah yang sebenarnya menjadi bola liar terkuaknya harta tidak halal para pejabat tersebut. Tidak adanya kendala moral untuk memamerkan kekayaan hasil korupsi juga menjadi persoalan serius betapa jauhnya jarak antara semangat pendiri bangsa kita yang sederhana dan berkomitmen tinggi dengan pejabat hari ini dan keluarga mereka yang tidak malu memamerkan kekayaannya yang tidak wajar.

Mungkin, rasa pamer ini bagian dari ilusi kemerdekaan di era media sosial bahwa setiap orang berhak memamerkan hasil jerih payahnya meskipun hasil jerih payah korupsi. Jangan-jangan, diam-diam, kita memaklumi bahwa menjadi pejabat tinggi memang seharusnya menjadi mewah dan kaya. Pejabat yang jujur dan sederhana malah dipandang sebagai duri dalam sistem yang korup. Peristiwa semacam ini sebenarnya telah dicatat dalam sejarah.

Pajak Masa Islam

Ibnu Khaldun dalam bukunya berjudul Mukadimah yang ditulis 1377 Masehi atau 646 tahun yang lalu menyebut kebiasaan-kebiasaan hidup mewah dan pejabat yang memakan uang rakyat miskin adalah fase-fase akhir dari negara.

“Apabila pembebanan dan kewajiban pajak atas rakyat kecil, mereka semangat dan senang bekerja. Usaha kultural berkembang dan meningkat, jumlah kewajiban dan pembebanan pajak individu menjadi naik.”

Maksudnya rakyat akan giat bekerja jika pajak kecil. Namun sebaliknya:

“Konsekuensinya, pendapatan pajak yang merupakan jumlah total pembebanan individu, bertambah banyak,” tulis Ibnu Khaldun.

Kemudian yang terjadi adalah “Pajak yang berat menjadi suatu keharusan dan tradisi, terjadi secara bertahap. Tidak seorang pun yang khusus mengetahui siapa yang meningkatkan jumlah itu dan siapa yang meletakkannya. Tahu-tahu sudah ditetapkan bagi rakyat seakan-akan merupakan tradisi yang harus ada. Pembebanan pajak akhirnya meningkat jauh melampaui batas kewajaran. Akibatnya, usaha-usaha rakyat (kecil menengah) menjadi lenyap karena tidak sebanding antara pendapatan mereka dengan pengeluaran pajak. Akibatnya, pendapatan pajak total hilang.”

“Dan akhirnya, peradaban hancur” akibat lenyapnya aktivitas perniagaan yang hilang. Ibnu Khaldun memberikan solusi bahwa untuk meminimalisasi kehancuran ini adalah mengurangi sebisa mungkin pungutan pajak.

Ibnu Khaldun mencatat hal semacam ini terjadi di kota-kota timur pada masa akhir daullah Bani Abbas dan Bani Ubaidi (Fatimi). Perbaikan sempat terjadi pada masa Salahudin Al Ayubi dengan meniadakan pajak sama sekali dan menggantinya dengan kebaikan. Penulis kurang paham apa yang dimaksud “kebaikan” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Namun, ia melanjutkan bahwa kondisi buruk ini terjadi pada masa rejes de Taifas ‘raja-raja Thaifah’ dan terjadi di kota-kota al Jarid di Afriqiyah pada masa buku ini ditulis pada abad keempat belas Masehi.

Melihat catatan sejarah tersebut, kesederhanaan tidak hanya dipandang sebagai hidup sederhana para pejabatnya, tetapi bagaimana para penguasa dari pemerintahan melakukan perbaikan dengan cara mengurangi pajak. Semoga saja, peristiwa baru-baru ini, seperti perilaku pamer kemewahan korupsi pejabat, terutama pejabat perpajakan membuat pemerintah sadar bahwa untuk menyelamatkan peradaban Indonesia, larangan pamer hidup mewah saja tidak cukup, mengurangi beban rakyat kecil juga, seperti mengurangi pajak, termasuk bagian dalam membangun negeri.