Puasa Niat Diet, Bolehkah?

ALTSAQAFAH.ID – Dewasa ini, penampilan dinilai sebagai suatu hal yang krusial dan paling utama bagi semua orang. Hal ini boleh jadi disebabkan maraknya perspektif yang menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya. Barang branded, pakaian mewah, dan postur tubuh yang indah seolah menjadi tolok ukur seseorang dalam bersosialisasi. Padahal pada dasarnya kita tak pernah tahu siapa dan dari mana ia sebenarnya.

Namun, hal tersebut tak sepenuhnya bisa disalahkan, pentingnya menjaga penampilan juga bisa berpengaruh pada tingkat kepercayaan diri seseorang, maka dari itu berbagai cara dilakukan untuk tetap menjaga penampilan, diet salah satunya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diet merupakan aturan makanan khusus untuk kesehatan dan sebagainya. Mengurangi berat badan menjadi yang paling populer dan banyak dilakukan. Maka wajar bila diet memiliki pengertian yang sangat luas dan memiliki berbagai macam jenis, mulai dari defisit kalori, mengurangi konsumsi karbo, hingga membatasi jam makan atau yang biasa dikenal dengan istilah intermittent fasting.

Jika dilihat dari definisinya, istilah intermittent fasting tersebut sepertinya sudah tak asing lagi di telinga sebagian orang, terutama umat Islam. intermittent fasting memiliki pengertian yang hampir sama dengan puasa. Sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa influencer dan publik figur di negara kita, seperti Melaney Ricardo, Nagita Slavina, dan lain-lain. Faktanya, diet dengan cara intermittent fasting ini memang memiliki persentase keberhasilan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis diet yang lain. Dikutip dari laman kompas.com, studi terbaru yang dilakukan di Inggris menemukan fakta bahwasanya intermittent fasting atau dikenal sebagai puasa berkala, efektif dalam membantu orang menurunkan berat badan dibanding diet lain yang lebih rumit. Maka tak heran jika banyak orang yang berminat dan antusias untuk melakukan diet dengan cara ini.

Namun, dengan populernya metode diet ini, banyak orang yang justru menggabungkan antara niat berpuasa karena menjalankan ibadah dan karena tujuan lain tanpa memikirkan bagaimana sebenarnya hukum dan ikhtilaf ulama yang terjadi dalam permasalahan ini. Jika kita perhatikan arti puasa secara lebih luas, ada beberapa hal urgen yang perlu kita perhatikan secara lebih terperinci. Misalnya yang paling umum dan banyak dibicarakan ialah terkait niat berpuasa.

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian para ulama terkait niat puasa, misalnya tentang waktu pelaksanaan niat puasa. Imam mazhab empat sepakat bahwa puasa wajib atau puasa yang sifatnya menjadi tanggungan bagi seseorang itu niatnya dilakukan saat malam hari. Namun, untuk puasa yang hukumnya sunah, imam mazhab empat, kecuali Maliki bersepakat bahwa niat puasa boleh dilakukan saat pagi hari. Selanjutnya pembahasan mengenai apakah niat puasa Ramadan itu harus diperbarui setiap hari atau tidak, juga terjadi ikhtilaf ulama. Pembahasan yang tak kalah penting terkait niat berpuasa ialah pencampuradukan niat seseorang dalam melakukan ibadah puasa ini. Dalam hadis nabi disebutkan:

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

 “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya (HR Bukhari-Muslim).’’

Menurut standardisasi fikih, niat seseorang dianggap cukup apabila dilakukan dengan sengaja dan dibarengi dengan pekerjaannya. Namun, bagaimana jika niat seseorang tersebut justru dibarengi dengan hal-hal atau motivasi di luar tujuan ibadah? Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasa orang tersebut. Secara umum kita dapat membaginya menjadi dua bagian.

Pertama, Menurut Imam Assuyuthi, jika pencampuradukan niat tersebut lebih dominan pada tujuan akhirat, pahala yang didapat sesuai dengan niat awal puasa. Begitu pula Imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa setiap ibadah yang di dalamnya menggabungkan tujuan ibadah dan duniawi, tidak akan mendapatkan pahala jika lebih dominan tujuan duniawinya. Artinya, jika ingin puasa kita memiliki nilai ibadah, kita harus menitikberatkan tujuan kita tersebut pada tujuan akhirat lillahitaala, begitu pula sebaliknya.

Kedua, menurut Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, apabila seseorang niat berpuasa untuk Allah Taala dan niat sehat atau agar cepat langsing secara bersamaan, puasa yang dikerjakan gugur. Senada dengan hal ini, Izzuddin bin Abdissalam dan al-Imam al-Zarkasyi mengatakan bahwa ibadah apa pun termasuk puasa, tidaklah mendapat pahala secara mutlak jika menggabungkan tujuan ibadah dan duniawi.

Lantas, bagaimana seharusnya sikap kita dalam menyikapi ikhtilaf para ulama tersebut? Bisakah kita langsung mengambil kesimpulan bahwa berpuasa dengan niat diet itu merupakan sesuatu yang diperbolehkan atau bahkan diharamkan secara syariat Islam? Maka sebagai orang awam, untuk menjawab itu kita tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi, paling tidak kita juga harus mendatangkan sebuah dalil fikih sebagai pegangan. Pada era ini, dalam menyikapi isu-isu kontemporer yang berkembang di masyarakat sepertinya diperlukan sebuah “prasarana” khusus untuk menjembatani kita dalam menganalisis dan menjawab suatu permasalahan. Salah satunya dengan Qawaid Fiqhiyyah, cabang ilmu yang baru muncul pada era mutaqaddim ini justru menjadi solusi dan sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini ketika hendak mengetahui hukum fikih dari suatu permasalahan di antara banyaknya hukum-hukum fikih yang ada. Salah satu kaidah fikih yang masyhur ialah:

الخروج من الخلاف مستحب

‘’Keluar dari khilafiyah hukumnya sunnah.’’

Kaidah fikih ini memiliki pengertian bahwasanya kita lebih baik keluar dari sesuatu yang menjadi ikhtilaf para ulama menuju “zona aman”. Artinya, ketika kita melakukan sebuah amaliah, tak ada imam lain yang mengharamkan amaliah tersebut. Menghormati pendapat ulama lain yang bertentangan mengenai suatu hukum atas sebuah permasalahan sangat diperlukan demi terciptanya keharmonisan dalam bersyariat. Kemudian jika kita kaitkan dengan permasalahan berpuasa dengan niat diet, seyogianya bagi kita yang tak memiliki argumen yang absolut disebabkan ketidakmampuan kita dalam berijtihad, tidak melakukannya. Bahkan, boleh jadi dikatakan bahwa puasa dibarengi dengan niat diet itu tidak boleh dan lebih baik ditinggalkan. Adapun jika kita menginginkan tujuan diet, kita tak perlu menyertakan hal tersebut dalam niat berpuasa. Karena secara disadari atau tidak, selain mendapatkan pahala di sisi-Nya, manfaat dari berpuasa secara tulus untuk beribadah dan mencari rida Allah Swt. adalah kesehatan, termasuk diet.
Wallahu a’lam bi showab.

 

 

Penulis: Finatih (Alumnus Al-Tsaqafah Angkatan 5)