Membingkai Gajah Mada Secara Proporsional

Ponpes Luhur al-Tsaqafah sukses menyelenggarakan bedah buku “Pu Gajah Mada” karya KH. Agus Sunyoto pada Kamis (04/04) siang. Acara yang dihadiri  ratusan peserta dari akademisi, aktivis,  dan mahasiswa dari berbagai instansi dan organisasi tersebut dibuka langsung oleh Prof. KH. Sa’id Aqil Siradj, pengasuh Ponpes Al Tsaqafah.

Dalam sambutan pembukanya, Kiai Sa’id menjelaskan betapa pentingnya sejarah bagi seorang muslim.

“Kegiatan berjalan di atas bumi, meneliti sejarah sebuah peradaban, adalah aktivitas yang harus ada sampai hari kiamat”, tegas Ketua Umum PBNU tersebut.

Sementara itu, dalam pemaparannya, Kyai Agus Sunyoto mengaku sengaja memilih bentuk fiksi sejarah untuk corak penulisan buku terbarunya tersebut. Hal ini berbeda dengan buku-buku yang ia tulis sebelumnya yang bercorak karya ilmiah. Ia berharap dengan mengambil bentuk fiksi sejarah, buku Gajah Mada ini bisa lebih membumi dan dibaca seluruh lapisan masyarakat. “Meski fiksi, namun ia ditulis berdasarkan data hasil penelitian”, ujar Ketua Umum LESBUMI PBNU tersebut.

Kiai asal Malang penulis buku Atlas Walisongo ini mengaku, bahwa ia terdorong melakukan penelitian tentang sosok Gajah Mada ini, karena keprihatinan terhadap generasi millenial yang saat ini kehilangan sosok figur keteladanan nasional.

“Indonesia akan menuju kehancuran jika tidak ada tokoh yang menjadi teladan generasi millenial”, tegasnya.

Selain itu, upaya pengkaburan sejarah Gajah Mada akhir-akhir ini juga menjadi salah satu motif yang membuatnya terpanggil menghadirkan sejarah Gajah Mada dengan bahasa yang renyah, tetapi tidak mengurangi substansi ilmiah.

Arkeolog UI Prof. Aris Munandar yang hadir sebagai pembanding menyebut karya Agus Sunyoto ini sebagai tulisan yang kreatif dan inspiratif. Ia menilai bahwa keotentikan data dalam novel ini bisa dilihat dari nama gelar dan tokoh yang secara langsung diambil dari sejumlah prasasti.

Prof. Aris juga menanggapi isu Gajah Mada seorang muslim dan Majapahit adalah kerajaan Islam. “Kita tidak perlu berdebat. Kembali saja ke data otentik yang ditulis sezaman. Maka akan kita dapati bahwa itu hanya klaim yang tak bisa dibuktikan secara arkeologis”, ujarnya.

Aris memperkuat argumennya dengan data dalam buku Nagara Kartagama bahwa Gajah Mada adalah pemuja agama Budhha. Ia juga menjelaskan nafas Hindu-Buddha yang tak bisa ditolak dalam nama Gajah Mada itu sendiri. “Gelar-gelar yang digunakan oleh para Raja Majapahit seperti Sri Kertarajasa Jaya Wardana adalah bukti bahwa Majapahit kerajaan Hindu. Sebab gelar-gelar itu adalah sebutan bagi penerus dewa Wisnu dalam pandangan Hindu”, tambahnya.

Sementara Prof. Hasan Ja’far menilai bahwa buku ini sebuah karya sastra etik tentang kepahlawanan. Arkeolog senior Universitas Indonesia itu memberi catatan dan masukan seputar tampilan, isi, dan sejumlah ejaan Jawa kuno yang dianggap kurang tepat.

Acara yang dimoderatori Iman Zanatul Haeri, S.Pd ini menyimpulkan bahwa penelitian ilmiah tentang sosok Gajah Mada dan juga pentingnya menulis fiksi tentang sosok masa lalu. Sebab prosa dapat menjadi media sosialisasi menarik bagi peristiwa dan tokoh sejarah.

Reporter : Dzul Fahmi