Jalan Terjal Menuturkan Gajah Mada

Artikel ini ditulis sebagai pengantar acara bedah buku “Sejarah Gajah Mada” karya KH. Agus Sunyoto di Pondok Pesantren Luhur al-Tsaqafah, Kamis 4 April 2019.

Majalah Tempo edisi khusus tahun 2014 mengangkat Mohammad Yamin sebagai tokoh kontroversi. Salah satunya karena Moh Yamin adalah tokoh utama yang mempopulerkan Gajah Mada dalam kehidupan Indonesia modern. Ia merupakan sarjana hukum yang menulis buku sejarah. Disinyalir ia adalah orang yang dimaksud Soekarno, ‘seorang teman’ yang membisiki Bung Besar untuk memakai istilah ‘Pancasila’ pada sidang BPUPK Pertama 29 Mei – 1 Juni 1945. Selain itu Yamin juga membuat konsepsi bahwa Sriwijaya dan Majapahit adalah replika ‘Nation-State’ Indonesia. Hal ini telah menjadi landasan yang kuat dalam politik pendidikan pada saat ia menjabat sebagai menteri pendidikan.

Yamin-lah yang pertama kali menemukan wajah Gajah Mada. Setidaknya, ia pernah dicecar pertanyaan oleh kalangan arkeolog, mengenai temuan ‘wajah gajah mada’ yang ia ambil dari situs Trowulan, komplek keraton Kerajaan Majapahit. Dengan enteng ia menjawab  ‘Jika ada yang tidak sepakat, silahkan membuktikan yang sebaliknyalah yang benar.” Perdebatan kebenaran tersebut merupakan wilayah para arkeolog untuk membantah ataupun mendukungnya. Sebagai politik pendidikan, upaya-upaya yang dilakukan Moh Yamin lebih merupakan semangat revolusi Indonesia atau sejarah Indonesia sentris.

Dalam perjalanannya, terdapat tiga kecenderungan historiografi di Indonesia. Pertama, historiografi tradisional yang menyelimuti sejarah dengan kisah-kisah mitologi. Kedua, historiografi kolonial yang memiliki bias eropa-sentris serta wacana kuasa kolonial. Ketiga historiografi Indonesia-sentris, artinya menulis sejarah dari persepsi dan kepentingan nasional kita.

Namun perlu dicermati, penelitian-penelitian awal tentang Gajah Mada dilakukan oleh para peneliti dari pemerintahan kolonial Belanda. Mereka umumnya adalah agen-agen instrumen kolonialisme yang berupaya untuk –meminjam istilah Edward Said—menunjukan dan mempertontonkan ‘sejarah Hindia Belanda’ dihadapan panggung kekuasaan kolonial. Artinya terdapat desakan bahwa pengungkapan sejarah kita, hanyalah sejarah penaklukan Eropa yang menghasilkan kesimpulan bahwa kita ; bodoh, penuh mitos, mudah diadu domba dan orang-orang Barat datang menyelamatkan kita dari kebodohan. Oleh sebab itu penulisan sejarah kita perlu ditulis ulang dari perspektif dan kepentingan kita, sebagai sebuah bangsa.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, disebutkan terdapat perubahan besar-besaran dalam politik pengetahuan setelah Indonesia merdeka tahun 1945 (Samuel, 2010). Saat itu para peneliti Belanda hengkang secara bertahap dari negeri jajahan pasca kemerdekaan Indonesia. Demi mengisi kekosongan tersebut, diadakan kongres sejarah pertama di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1957 untuk menyusun historiografi kita sendiri.

Sejak saat itu kita menyusun sejarah kita sendiri, meskipun masih ada beberapa kritik didalamnya. Memasuki periode orde baru, ‘pelurusan sejarah’ dilakukan tidak hanya bertujuan untuk ‘desoekarnoisasi’, disamping itu terjadi pula ‘jawaisasi sejarah’. Proyek penulisan sejarah diarahkan pada kegemilangan Majapahit dan minus sejarah lokal daerah-daerah lainnya. Jawa dijadikan makrokosmos sejarah nasional. Dalam sekuel sejarah Majapahit, Sumpah Palapa dinasionalisasikan. Padahal keberadaannya dalam sejarah pernah disangsikan oleh Arkeolog UI, Prof Aris Munandar. Terlanjur, satelit pertama kita dinamai Palapa. Persoalan historiografi Indonesia tidak berhenti disitu. memasuki periode reformasi, terdapat kecenderungan baru dalam penulisan sejarah Indonesia.

Islamisasi Sejarah

Pada Tahun 2006, dibentuk Tim Kajian Kesultanan Majapahit (TKKM) oleh Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) kota Yogyakarta. Hasilnya, tahun 2010 terbitlah buku yang mengklaim bahwa Majapahit bukanlah Kerajaan Hindu-Budha, namun Kesultanan Islam bernama Kesultanan Majapahit. Penulisnya Herman Sinung Janutama tercatat pernah studi di jurusan fisika UGM. Argumen kajian ini sudah banyak dibantah oleh kalangan arkeolog maupun sejarawan.

Fenomena ini mencapai puncaknya ketika viral di sosial media. Klaim Kesultanan Majapahit semakin mengarah pada klaim bahwa Gajah Mada sebenarnya seorang muslim, dan namanya adalah Gaj Ahmada. Akar pemikiran seperti ini merupakan sebuah pseude-science atau ilmu semu. Artinya kajian seperti ini mengklaim sebagai temuan ilmiah padahal tidak mengikuti metode ilmiah. Namun perlu diakui, umat muslim di Indonesia menyukai informasi semacam ini.

Sering munculnya ilmu semu yang mengklaim sebagai kebenaran ilmiah kemudian beredar dalam masyarakat, disebabkan oleh sebaran informasi yang sulit dibendung. Pada perkembangannya, informasi-informasi ini mengandung benih-benih ideologi dan kecenderungan tertentu. Hal ini menjawab mengapa isu Gaj Ahmada mendapatkan porsi yang besar dalam perhatian masyarakat muslim di Indonesia.

 Fenomena seperti ini disebut sebagai proses islamisasi baru. Islamisasi pada awalnya mengacu pada penyebaran Islam Jawa dan seluruh di Nusantara (Ricklefs, 2012). Namun pada perkembangannya pengertian islamisasi merujuk pada prilaku umat Islam di Indonesia yang mulai gemar mencari berbagai hal yang ‘berbau’ Islami. Menurut Ariel Heryanto, islamisasi di Indonesia melalui tiga tahap. Tahap pertama mulai banyaknya lembaga keislaman menjelang akhir orde baru. Tahap kedua, munculnya gerakan sosial pada kelas menengah Islam. Pada tahap ketiga, fenomena ini masuk dalam bidang komunikasi dan studi budaya. meliputi budaya konsumsi, gaya hidup, identitas politik, budaya pop, multimedia dan postmodernisme (Jawa Pos, 16/4/1996).

Puncaknya, Islam hanya dipandang sebagai produk yang bisa dikonsumsi. Artinya demi memenuhi kebutuhan produk berbalutkan Islam, maka seluruh konten informasi hingga informasi sejarah diselimuti oleh bungkus-bungkus Islami. Hal ini menjawab berbagai persoalan mengapa peninggalan sejarah nusantara yang harusnya memberi penekanan pada silang budaya, agama dan politik sebagai dinamika realitas kehidupan masyarakat kita, malah direduksi menjadi informasi yang kebenarannya hanya melayani keyakinan sesaat. Tentu kita mesti belajar pada para pendiri bangsa yang mampu mengangkat kegemilangan masa lalu tanpa harus membungkusnya secara simplistik sehingga Gajah Mada bisa diterima dalam lanskap sejarah.

Islamisasi sejarah Gajah Mada telah memutus generasi muda dari kisah sejarah nenek moyangnya sendiri. Akibatnya muncul narasi tunggal yang hanya menerima peristiwa dan sosok Gajah Mada dalam kategori Islam atau bukan Islam. Padahal temuan arkeologis lebih kaya memaparkan keragaman fakta sejarah. Bahwa perkara agama, manusia Indonesia beraneka ragam dan tidak dikotomis. Bentuk arsitektur candi-candi di Pulau Jawa menunjukan bukti kekayaan religius masyarakat Majapahit (Munandar, 2015). Sebagai penulisan ilmiah, penelitian yang dilakukan para arkeolog, perlu mendapatkan tempat sebagai benteng kebenaran sejarah Gajah Mada. Namun, demi mengisi ruang-ruang kosong yang tidak dapat dijangkau oleh metode yang terukur, sastra biasa mengambil tempat. Penulisan sejarah melalui fiksi dengan akurasi data yang mewakili jiwa zaman (Zeitgest) seperti buku ‘Mahapatih Mangkubumi Majapahit Pugajah Mada’ karya KH Agus Sunyoto, M.Pd ini, perlu dihadirkan dalam masyarakat Indonesia.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit-Thariq…

Jakarta, 3 April 2019