Salah Arah Kebhinekaan Global

ALTSAQAFAH.ID – Dalam opininya (Kompas, 23/4/2022), Iwan Pranoto menekankan kesalingterhubungan sebagai gagasan dalam pendidikan yang akan menyelamatkan umat manusia dari masalah lingkungan, memperkokoh persaudaraan, dan kedamaian. Ia merujuk pada laporan UNESCO yang berjudul “Reimagining Our Future Education”.

Imajinasi tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari pengalaman manusia. Pengalaman yang menghubungkan satu generasi dengan generasi lain melalui ingatan dan menitipkan pengetahuan masa lalu sebagai warisan. Semakin banyak yang bisa diwariskan, suatu masyarakat akan lebih cepat menuju derajat peradaban tertentu. Sebagai contoh, menurut sejarawan E H Carr, ide tentang kebebasan yang menjadi ciri utama peradaban Barat merupakan warisan yang dirawat dan dipertahankan selama 400 tahun terakhir (Carr, 2014). Oleh sebab itu, membayangkan masa depan pendidikan perlu mempertimbangkan apa yang selama ini sudah diwariskan masa lalu.

Kesalingterhubungan Global

Siapakah yang mempertahankan kesalingterhubungan umat manusia? Tentu saja catatan yang ditinggalkan satu generasi untuk generasi berikutnya. Dari catatan kitab hukum pertama Codex Hammurabi, kisah perdagangan Romawi-Tiongkok di Jalur Sutra sebelum Masehi, buku harian Anne Frank di Auschwitz, hingga laporan Center fo Disease Control and Prevention (CDC), lembaga kesehatan Amerika Serikat abad milenium yang melaporkan potensi munculnya patogen dan virus berbahaya di berbagai belahan dunia.

Tanpa mengingat bagaimana masa lalu membentuk kita hari ini dan bagaimana estafet pengetahuan membentuk gagasan besar mengenai apa yang dicapai umat manusia bersama-sama, sulit membayangkan beragam kerja sama antarnegara–yang salah satunya melahirkan UNESCO. Kesalingterhubungan yang akan menjadi arah baru pendidikan kita, hanya mungkin bisa dibayangkan jika memiliki pertautan sejarah. Ini bukan soal seberapa penting menghubungkan pelajaran biologi dan sejarah atau fisika dan geografi. Sebab yang lebih penting adalah memahami mengapa ilmu-ilmu itu perlu dipelajari. Sejarah sebagai latar harus kokoh dalam mengawali proses kesadaran semacam ini.

Mestinya, kurikulum yang mendorong kesalingterhubungan dalam dunia pendidikan menempatkan sejarah pada tempat terhormat sebagaimana big data dalam teknologi digital. Sejarah sebagaimana big data, hampir menyimpan semua pengalaman manusia. Oleh sebab itu, kehilangan wawasan sejarah akibatnya mirip dengan kehilangan data digital atau kehilangan akses terhadap memori awan pada era digital.

Meski demikian, tidak semua pengalaman individu bisa disebut sejarah. Alasan pragmatisnya, pada masa lalu belum ditemukan teknologi yang bisa menghimpun seluruh pengalaman manusia meskipun usaha-usaha ke arah sana sudah dilakukan oleh para penguasa dari berbagai peradaban besar. Seperti pembangunan perpustakaan kolosal di Aleksandria Mesir (323 SM) hingga perpustakaan Baghdad zaman Abasyiah (786-809 M) yang merupakan pusat himpunan gulungan perkamen terbanyak di zamannya.

Penghormatan yang besar terhadap catatan masa lalu dan mereka yang mengajarkannya terbukti melahirkan peradaban tinggi, lingkungan masyarakat terdidik, dan belakangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun Indonesia bukan peradaban kuno yang dimaksud, berbagai peradaban besar yang singgah di negeri ini melahirkan apa yang belakangan kita sebut “kebhinekaan”.

Kebhinekaan Global

Dalam pupuh Sutasoma 500 tahun lalu, peristilahan bhinneka tunggal ika merupakan kristalisasi zaman dalam mendefinisikan suatu anomali: bagaimana mungkin ajaran Hindu dan Buddha yang bertolak belakang di tanah kelahirannya India, justru menjadi ajaran yang fluid–istilah ini dipopulerkan oleh Azyumardi Azra–ketika sampai ke Nusantara? (Abdulah, 2015:60).

Jika global diartikan kesalingterhubungan antarperadaban, kebudayaan, barang, jasa, dan manusia, bhinneka tunggal ika adalah representasi dari hubungan global. Bhinneka tunggal ika adalah bukti kesalingterhubungan kebudayaan dan produk pengetahuan global yang singgah di negeri ini. Di dalamnya terdapat hubungan dagang, teknologi perkapalan, sastra, seni, dan arsitektur yang “fluid”. Mengapa ada candi Hindu bercorak Buddha? Mengapa karya sastra cerita Panji bernuansa Hindu sekaligus Islam dan begitu pun sebaliknya? Mengapa motif tenun patola khas India menjadi motif celup rintang (batik) di Pulau Jawa, tetapi derajat peradaban yang tergores dalam batik lebih tinggi daripada kain tenun patola? Bukankah dengan demikian, keberadaan batik adalah bukti terjadi local invention dalam hubungan global bangsa Indonesia dengan India?

Kebhinekaan adalah bukti kesalingterhubungan peradaban besar dunia. Artinya, kebhinekaan adalah konsep purba dari “global” jika yang dimaksud adalah kesalingterhubungan umat manusia di antara peradaban-peradaban besar. Merupakan kecelakaan sejarah jika kebhinekaan hanya diartikan sebagai gagasan toleran sempit, penyeragaman kebudayaan nasional, dan menisbikan peran historisnya. Hasilnya, terjadi duplikasi kata pada makna yang sama dalam “profil pelajar Pancasila” menjadi “kebhinekaan global”. Padanan dua kata tersebut membuktikan ada kesalahan fatal para perumusnya dalam menemukan keterkaitan etimologi dan kebutuhan praktis dunia pendidikan.

Wawasan Sejarah Global

Oleh sebab itu, pilihan kata kebhinekaan global dalam profil pelajar Pancasila menandakan ada dasar sejarah yang hilang dalam proses penciptaan gagasan semacam ini. Seiring lahirnya gagasan kebhinekaan global, semua yang berkaitan sejarah dalam sistem pendidikan nasional juga ikut menghilang. Seperti bubarnya Direktorat Sejarah tahun 2019, hilangnya salah satu mapel sejarah dalam Kurikulum Merdeka; berimbas hilangnya materi sejarah berwawasan global dan hilangnya mata pelajaran sejarah sebagai muatan wajib maupun mata pelajaran wajib dalam RUU Sisdiknas. Maka sangat dimaklumi apabila kebijakan pendidikan nasional tidak berdasarkan landasan sejarah. Mengapa realitas global (kebhinekaan) harus ditambah kata global? Oleh sebab itu, ada ancaman nyata bahwa kebijakan pendidikan nasional sedang membawa kata-kata kosong sebagai panduan para pelajar kita menghadapi masa depan dunia.

Jika “tren global” adalah sasaran Peta Jalan Pendidikan Indonesia (PJPI 2020-2035), dihapusnya materi sejarah yang bernuansa muatan “global” bertolak belakang dengan sasaran yang dimaksud. Dalam Kurikulum Merdeka, tidak lagi diajarkan sejarah peradaban kuno, peristiwa penting Eropa (Renaissance, Aufklarung hingga Revolusi Industri), paham-paham besar, revolusi besar dunia, Perang Dunia I-II, dan Perang Dingin. Apakah pelajar kita mampu menghadapi persaingan global tanpa memiliki pengetahuan dasar mengenai wawasan global di atas?

Apakah ini penanda, alih-alih menjalin kesalingterhubungan Indonesia dengan dunia, yang terjadi justru adalah sikap penolakan itu sendiri terhadap kerja sama global? Bagaimana mungkin kolaborasi secara gobal akan terlaksana jika pelajar tidak memiliki wawasan sejarah global?

 

 

Referensi:

Carr, E H. 2014. Apa itu Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.
Wahid, WGA dkk., 2015. Fiqih Kebhinekaan. Jakarta: Mizan Media Utama.
Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035, pdf.
Draf RUU Sisdiknas, (arsip pribadi).