Tan Malaka: Pahlawan Pemuja Matematika

ALTSAQAFAH.ID – Satu-satunya tokoh kemerdekaan yang menuliskan pembuktian teorema pythagoras hanyalah Ibrahim yang kemudian dikenal sebagai Datuk Sutan Malaka atau Tan Malaka. Teorema yang memiliki 371 pembuktian ini ditulis dengan apik dalam masterpiece-nya, Madilog. Teori mesti diuji, demikian ujar tokoh pertama yang menulis gagasan berdirinya republik ini. Terlebih dalam matematika, pembuktian merupakan tulang punggung dan nyawa, maka pantaslah Tan mengambil contoh-contoh metode pembuktian matematika dalam menjelaskan bagaimana suatu teori harus diuji.

Bapak republik paling misterius ini telah mengganti nama sebanyak 23 kali dalam pelarian di 11 negara. Ia diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Saking misteriusnya,  kematian Tan menjadi tanda tanya. Beredar informasi bahwa pada 21 Februari 1949, Tan dieksekusi mati oleh pasukan Tentara Republik Indonesia (TRI). Makamnya ditemukan, tetapi bukan di Kalibata. Ia terbaring di Selopanggung, Kediri, tempat ia dieksekusi mati. Pada tahun 2017, jasadnya dipindah ke kampung halamannya di Nagari Pandang Gadang, Sumatera Barat.

Dr. Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner yang kesepian. Pernyataan tersebut tidak berlebihan. Tan hidup dalam pembuangan selama 20 tahun (1922 – 1942) tanpa didampingi teman seperjuangan. Tan Malaka memang pejuang yang kesepian dalam arti yang sesungguhnya. Sebagai pelarian dan tahanan, ia tidak berhenti melatih nalar dan melahirkan gagasan. Tan mengungkapkan pelariannya yang panjang sangat memengaruhi kondisi kesehatan dan “kantongnya”. Bak air laut, sering sekali pasang dan surut. Menariknya, Tan justru menemukan materi dalam perasaan kekurangan materi. Ia mengaku mendapatkan banyak materi pada ilmu yang tak bermateri, yaitu pada matematika.

Kepercayaan diri dan sikap pantang menyerah Tan Malaka untuk terus berjuang didapat dari menjawab soal-soal matematika yang ia peroleh sendiri. Iwan Pranoto, Guru Besar ITB menyebut bahwa kegiatan bermatematika bagi Tan adalah oase yang menyejukkan jiwa. Tan asyik bernalar dan menikmati proses berdialog dengan pemikirannya. Bangsa ini sangat beruntung memiliki Tan Malaka yang menghargai berlogika, bernalar, dan bermatematika.

Celakanya, tidak cakap bermatematika saat ini dijadikan lelucon. Seorang yang memiliki kedudukan kerap berkata di depan khalayak, bahkan tak jarang di depan para pelajar, bahwa toh ia bisa meraih kesuksesan meskipun tidak pandai matematika. Kemudian diiringi tawa terbahak-bahak dan diamini oleh yang mendengarkan.

Pantas saja, survei PISA yang mengukur kemampuan anak-anak sekolah di bidang numerasi menempatkan Indonesia pada peringkat buncit. Tan dalam peristirahatannya, mungkin akan membalas dengan kalimat, “Yang bener aje, rugi dong! Cuaaaks!!!”