Menjawab Dikotomi Sistem Pendidikan Agama & Umum

AKURAT.CO, Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah didirikan untuk menjawab sistem pendidikan di Indonesia yang masih memisahkan pendidikan agama dan umum. Sistem pesantren ini menggabungkan antara ilmu-ilmu ketuhanan dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tak heran jika nama pesantren ini adalah Al Tsaqafah yang dapat diartikan dalam istilah bahasa arab yaitu pengetahuan atau seni atau moral etika atau segala hal yang berhubungan dengan segi-segi kehidupan manusia.

Pondok Pesantren yang didirikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dimulai sejak tahun 2011. Baru pada 28 Juli 2013, tepatnya saat memasuki bulan Suci Ramadhan, Pondok Pesantren tersebut membukan pendidikan madrasah tingkat Aliyah atau SMA.

AKURAT.CO mencoba menyambangi pesantren yang terletak di jalan Moh. Kahfi 1, kelurahan Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan ini. Pimpinan Pesantren Moh. Sofwan Yahya menerima AKURAT.CO dengan hangat dan membeberkan semangat pendirian pesantren ini.

“Pada awalnya kan Kiai Said itu memiliki pengajian sekitar tahun 2000-an pertengahan. Kalau nggak salah mengaji Kitab tafsir al-Kabir Mafatihul Ghaib, juga mengaji disertasi tentang filsafat tasawuf tapi di rumah yaitu seminggu sekali, dari awal-awal itu Kiai Said ingin semacam ada kesinambungan, akhirnya mendirikan Pesantren Luhur Al-Tsaqafah ini,” kata Kepala pondok pesantres Moh. Sofwan Yahya saat ditemui AKURAT.CO, Kamis (14/5/2020).

Pengetahuan kitab kuning juga diterapkan bertujuan agar para santri-santriwati tidak hanya berinteraksinya dengan Qur’an dan Hadits serta teori-teori ulama, tapi juga mengetahui keilmuan-keilmuan penunjang yang dipelajari, sehingga dapat memahami Al-Qur’an itu secara komprehensif. Peradaban-peradaban sejarah dan kemajuan umat Islam dalam tempo dulu juga dipelajari para santri.

“Nah dari sinilah keunikan itu ada, kebanyakan kan kitab kuning itu hanya terkenal dipelajari di daerah daerah Jawa Timur, Jawa Tengah kebetulan di sini juga dulunya mayoritas alumni-alumni Pesantren Jawa Tengah, Jawa Timur sehingga itu bisa transformasikan dengan kondisi masyarakat Jabodetabek. Karena mayoritas kebanyakan santri sini Jabodetabek,” tuturnya.

Selain itu, nilai-nilai keislaman juga diterapkan seperti penafsiran hadits, fiqih, aqidah. Kedua adalah bagaimana caranya nilai-nilai keislaman itu ditransformasikan menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan kondisi saat ini.

“Karena keilmuan ada nilai-nilai keislaman banyak tapi untuk mentransfer atau dalam bahasa agama yang mendakwahkan itu masih saklar hanya lewat ceramah-ceramah. Nah itu tentu tantangannya pertama harus belajar mengenai media dakwahnya jadi tidak hanya ceramah,” jelasnya.

Sofwan menuturkan, secara fisik Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah itu sama saja. Tapi secara karakternya pesantren tersebut sangat berjiwa Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang luwes terbuka terhadap perbedaan pendapat, tanpa adanya menghakimi yang berbeda itu adalah sesat atau kafir. Memikirkan bagaimana hubungan Islam dan kebangsaan di Indonesia tidak akan membenturkan kebangsaan dengan Islam.

“(Sedangkan) pehaman Politik itu kita akan ditaru diruang politik dan agama diruang agama, tidak ada campur baur. sehingga kalau politik dengan anjuran agama, anak-anak disini akan paham bahwa itu politik dan mana itu agama,” ujarnya.

“Jadi di sini ada Islam peradaban. Istilahnya bagaimana Islam itu untuk berperang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga adalah Islam yang lebih spesifik lagi ciri khasnya di Indonesia, kita pelajari agar tidak ada benturan. Jadi di sini konsentrasinya Islam peradaban, Islam Kebangsaan dan Islam nusantara itu agar tidak gap dengan budaya-budaya sekitarnya,” imbuhnya.

Hingga kini, pesantren tersebut masih berdiri dan menambah tingkat pendidikan Madrasah Tsanawiyah atau SMP. Kurang lebih sebanyak 460 para santri-santriwati bermukim dengan di mendapatkan sejumlah fasilitasi, yakni gedung asrama putra, putri. Gedung sekolah untuk putra dan Putri, serta kantor-kantor dan ada asrama untuk Guru.

Kegelisahan Kyai Said

Dikutip dari NU Online, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan alasan dirinya mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Pesantren Luhur Al-Tsaqafah.

Ia mengaku tertantang untuk menjawab sistem pendidikan di Indonesia yang dinilainya mengherankan, yaitu pemisahan antara pendidkan agama dan umum. “Kita melakukan sesuai kemampuan, yaitu menggabungkan antara ulumul ilahiyah (ilmu-ilmu yang bersifat ketuhanan) dan ulumul insaniyah (ilmu-ilmu untuk bersosial), antara ilmu agama dan ilmu yang bukan agama, ilmu profan, ilmu kemasyarakatan, ilmu teknologi,” kata Kiai Said pada acara tasyakkur memperingati Hari Lahir ke-5 Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (27/7).

Sistem pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama yang berada dalam tanggung jawab Kementerian Agama dan pendidikan umum  yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Satu-satunya negara yang mempunyai double system dalam pendidikan hanyalah Indonesia. Jadi, Indonesia ini unik banget, beda dengan negara lain,” ucap Kiai Alumnus Universitas Ummul Qura, Arab Saudi itu.

Ia berpendapat, dampak dari pemisahan sistem itu membuat lulusannya tidak cakap dalam salah satu hal. Misalnya, pesantren mampu melahirkan orang yang memahami ajaran agama, tapi tidak mempunyai wawasan umum sebagai modal bermasyarakat dan tidak mengikuti perkembangan zaman, seperti kecanggihan teknologi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Hal itu akan membuat santri mengalami kesulitan dalam menyebarkan dan mendakwahkan khazanah ilmunya.

“(Dan pada akhirnya) Kita (alumnus pesantren) akan seterusnya menjadi kelompok pinggiran, kelompok marjinal,” jelasnya. Begitu juga orang yang lulus dari sekolah formal atau perguruan tinggi umum, maka orang tersebut tidak mempunyai pemahaman tentang ajaran Islam.

 

#repost : akurat.co – Pesantren Luhur Al-Tsaqafah Menjawab Dikotomi Sistem Pendidikan Agama dan Umum